TEKNIK PEMERIKSAAN TREMATODA
Pendahuluan
Trematoda
merupakan phylum Platyhelminthes yang merupakan binatang bersel banyak
(metazoa), berbentuk pipih seperti daun
atau pita, simetris bilateral, badan terdiri atas tiga lapisan, tidak memiliki
rongga badan dan sistem sirkulasi darah. Jika ditemukan sistem pencernaan
makanan biasanya tanpa anus, memiliki sistem eksresitorius bilateral simetris
dan berakhir pada “flame cells” (solenocytes) bersifat hermaprodit kecuali Schistosoma, memiliki dua buah batil
isap salah satunya di mulut sebagai saluran pencernaan terbuka, sedangkan yang
satunya pada bagian ventral sebagai pelengkap. Trematoda hanya bersifat
parasit, stadium definitif ditutupi dengan integument tidak bersilia, epitel
bersilia terbatas pada larva yang menetas dari telur.
Siklus hidup cacing secara umum
memerlukan dua hospes perantara sebelum berkembang memasuki stadium infektif
pada manusia, kecuali Schistosoma.
Tahap awal siklus hidup hampir sama, diawali dengan miracidia yang berenang bebas keluar dari telur matang yang
keluar bersama faeces orang yang terinfeksi.
Morfologi umum Trematoda
Bentuk seperti
daun, pipih dorsolateral sehingga disebut cacing daun. Ada bermacam-macam
ukuran, trematoda ukuran besar, yaitu genus Fasciola
dan Fasciolopsis, serta ukuran kecil
yaitu genus Heterophyes dan Metagonimus. Badannya diliputi
integument mesenkimatus, aseluler, halus seringkali ditumbuhi semacam sisik
atau duri yang tampak jelas terutama pada bagian anterior tubuh.
Ditemukan dua
batil isap sebagai alat untuk melekatkan diri pada tempat hidupnya di dalam
tubuh hospes. Karena adanya lubang batil isap parasit ini disebut trematoda
yang artinya tubuh yang berlubang. Batil isap pertama merupakan batil isap
kepala (oral sucker), mengelilingi mulut berlanjut pada saluran makanan. Batil isap kedua batil
isap perut (ventral sucker, acetabulum) biasanya lebih besar dari oral sucker.
Didekat batil isap ini ditemukan porus genitalis.
Bagian dalam
terdapat otot dengan tiga arah serabut: longitudinal, oblik dan sirkuler,
berguna untuk dapat bergeraknya parasit dengan mengubah bentuk badan cacing. Alat
pencernaan makanan, dimulai dari mulut yang dikelilingi batil isap kepala,
selanjutnya menuju ke rongga mulut, pharynx yang berotot, oesofagus kemudian
bercabang dua caeca (seperti huruf Y terbalik) yang berakhir buntu.
Bentuk caecum
ada yang berupa tabung misalnya Clonorchis
sinensis yang bercabang-cabang ke lateral misalnya Fasciola hepatica. Makanan bahan cair atau setengah cair akan masuk
mulut sampai di caecum, diserap , sisa makanan dimuntahkan melalui mulut.
Makanan dapat diserap oleh seluruh tubuh cacing.
Alat
reproduksi, bersifat hermaprodit, alat kelamin jantan dimulai dari testis yang
biasanya berjumlah dua buah (Schistosoma
spp lebih dari 2) oval dengan permukaan yang rata, berlobus atau bercabang.
Ovarium berbentuk bulat/oval permukaan
rata, berlobus atau bercabang. Umumnya ovarium sebelah anterior testis. Kedua
alat kelamin bermuara pada antrum genital, ke luar melalui suatu lubang disebut
porus genitalis yang letaknya berdekatan dengan batil isap perut. Perkawinan
terutama terjadi antara kedua jenis kelamin dalam satu organisme, akan tetapi
dapat pula terjadi perkawinan silang antara dua organisme, fertilisasi terjadi
dalam ootype.
Manusia terinfeksi dengan cara metaserkaria termakan bersama tumbuhan
air pada Fasciola hepatica, Fasciolopsis buski, Watsonius watsoni, bersama ikan
pada Clonorchis sinensis, Heteropyes heterophyes, Metagonimus yokogawai atau
bersama udang pada Paragonimus westermani sedangkan pada Schistosoma, manusia
terinfeksi melalui serkaria menembus kulit.
Epidemiologi, umumnya terdapat di daerah tropik dan oriental kecuali untuk
genus Opisthorchis ditemukan antara lain di Jerman, daerah Rusia semenanjung
Balkan
Menurut habitatnya trematoda dibagi
kedalam empat kelompok yaitu:
a.
Trematoda darah
yang terdiri atas: Schistosoma japonicum,
Schistosoma mansoni, Schistosoma haematobium, Schistosoma mekongii
b.
Trematoda usus
terdiri atas Fasciolopsis buski, Watsonius watsoni, Metagonimus yokogawai, Echinostoma ilocanum, Heteropyes
heterophyes, Gastrodiscoides hominis.
c.
Trematoda hati
terdiri atas: Fasciola hepatica, Clonorchis sinensis, Opisthorchis
felineus, Dicrocoelium dendriticum,
Opisthorchis viverini.
d.
Trematoda
paru-paru, yaitu Paragonimus westermani
Trematoda yang penting yang menginfeksi manusia
dan hewan adalah:
ü Trematoda
darahàgenus
Schistosoma : S. mansoni, S. haematobium,
S.japonicum
ü Trematoda pada saluran pencernaan: Fasciolopsis buski
ü Trematoda
hati : Fasciola hepatica dan Clonorchis sinensis
ü Trematoda
paru-paru: Paragonimus westermani
1. Trematoda
darah
Trematoda darah memiliki perbedaan
dengan trematoda lainnya, diantaranya cacing dewasa tidak memiliki otot faring
serta memiliki kelamin terpisah (ada cacing jantan dan betina). Saluran
pencernaan setelah caecum bercabang dua, di sebelah distal, caecum bersatu
kembali dan buntu. Pada trematoda darah hanya memerlukan satu hospes perantara.
Telur tidak beroperkulum, menetas saat kontak dengan air. Serkaria ekornya bercabang,
masuk ke dalam tubuh hospes definitif dengan cara serkaria menembus kulit. Perubahan
yang terjadi pada hospes perantara miracidium menjadi sporokista I dan sporokista
II akhirnya menjadi serkaria
Penamaan Schistosoma berasal dari bentuk cacing jantan dewasanya, yang
tampak pada tubuhnya memiliki saluran genitalia memanjang berlekuk-lekuk,
yang merupakan tempat kontak dengan cacing betina pada saat kopulasi. Schistosoma terdiri atas tiga
spesies pathogen yang terutama
menginfeksi manusia yaitu : Schistosoma
japonicum; habitatnya adalah pada vena mesentrika superior, Schistosoma mansoni; habitatnya adalah
pada vena mesentrika interior, Schistosoma
haematobium; habitatnya adalah pada vena mesentrika inferior, terutama pada
vena sebelum vesica urinaria.
Terdapat spesies pathogen lainnya yang
mirip Schistosoma japonicum yaitu Schistosoma.
mekongi yang merupakan cacing dengan penyebaran terbatas pada lembah sungai
di daerah Mekong dan Schistosoma intercalatum dengan telur
mirip Schistosoma haematobium tetapi secara klinis
gejalanya seperti S.mansoni, merupakan
cacing endemis di daerah Afrika barat dan Afrika tengah. Siklus hidup
Schistosoma tidak memerlukan hospes
perantara kedua untuk penularan penyakitnya.
Schistosoma
japonicum habitatnya pada vena mesenterica superior. Schistosoma mansoni habitatnya pada vena mesentrica inferior,
sedangkan Schistosoma haematobium pada vena mesentrica
inferior, vena haemorrhoidalis, vena pudendalis dan sering terdapat pada plexus
vena vesicalis.
Secara umum penyakitnya disebut schistosomiasis
(Bilharziasis). Ada dua macam schistosomiasis , yaitu schistosomiasis
intestinalis yang disebabkan oleh Schistosoma
mansoni dan Schistosoma japonicum dan schistosomiasis
vesikalis yang disebabkan oleh Schistosoma
haematobium
Distribusi geografik bagi
schistosomiasis berlainan bagi trematoda
darah, antar lain untuk Schistosoma
japonicum di daerah Formosa (hanya enzootic/terbatas pada binatang) daerah
lain di Timur Jauh yang bersifat endemik dan enzootic. Untuk Schistosoma mansoni di daerah Mesir,
Afrika barat, Puertorico, Venezuela dan Brazil. Sedangkan untuk Schistosoma haematobium di daerah Mesir, Afrika Barat, Maroko dan Portugal.
Schistosomiasis di Indonesia,
terdapat disekitar danau Lindu, Lembah Napu dan daerah Besoa (propinsi Sulawesi
Tengah) yang merupakan daerah penyebaran endemis di Indonesia. Penyakitnya
Schistosomiasis japonica dengan hospes perantara Oncomelania hupensis lindoensis yang ditemukan oleh Davis dan Carney,
1973.
Gambar 1. Morfologi cacing dewasa Schistosoma spp dengan dua buah batil isap oral dan ventral sucker
Siklus hidup.
Telur yang sudah matang diletakkan
dalam kapiler darah dan vena kecil dekat permukaan mukosa usus dan kandung
kencing (tergantung spesies cacing). Telur dapat menembus keluar dari pembuluh
darah, bermigrasi ke jaringan untuk kemudian sampai pada lumen usus dan kandung
kencing, akhirnya telur akan ditemukan dalam tinja atau urine. Telur segera
menetas dalam air dan keluar miracidium. Didalam tubuh keong, miracidium
berkembang menjadi sporokista I dan sporokista II akhirnya menjadi serkaria. Serkaria
memiliki kemampuan menembus kulit, masuk ke dalam kapiler darah, akhirnya
sampai ke dalam vena kecil usus atau
kandung kencing.
Siklus hidup Schistosoma spp
Telur keluar bersama urne atau faeces
. Pada kondisi optimum (berada dalam air) telur menetas
menjadi miracidia
, miracidia masukke dalam hospes perantara yaitu keong air
tawar
. Dalam tubuh keong (moluska) miracidium berkembang dalam dua
tahapan menjadi sporokista
sporokista berkembang menjadi serkaria
. Ketika serkaria keluar dari tubuh keong, serkaria infektif
berenang bebas dan menginfeksi manusia dengan cara penetrasi ke dalam melalui
kulit
, serkaria melepaskan ekornya dan menjadi schistosomulae
. Schistosomulae bermigrasi
melewati beberapa jaringan dan menetap pada habitatnya dalam vena mesentrica
atau vena saluran kemih (
,
). Cacing dewasa tinggal pada lokasi vena spesifik yang
berbeda sesuai spesies
S. japonicum lebih sering ditemukan pada vena mesentrica superior
pada usus halus
, and S. mansoni
biasa terjadi ditemukan pada vena mesentrika superior pada usus besar
. S. haematobium
biasa ditemukan pada vena flexus vesicalis
, tetapi dapat pula ditemukan pada vena sekitar retum.
a. Schistosomiasis
japonica
Etiologi
Schistosoma japonicum (Katsurada, 1904)
Penyebaran geografi.
Cacing terbatas penyebarannya di
daerah Timur Jauh, Jepang, China, Taiwan, Philipina, Thailand. Fokus infeksi
ditemukan oleh Brug dan Tesch (1937) dipertegas oleh Faust dan Boone (1948) di
daerah Palu, Sulawesi Tengah (Indonesia)
Hospes definitif selain manusia
juga anjing, kucing, tikus, sapi, kerbau, babi, kuda, kambing dan biri-biri.
Membutuhkan hospes perantara siput air
tawar spesies Oncomelania nosophora,
O.hupensis, O.formosana, O.hupensis linduensis di Danau Lindu (Sulawesi
Tengah) dan O. quadrasi. Siput
berukuran kecil, operculate, amphibi serta dapat bertahan hidup beberapa bulan
dalam keadaan relatif kering.
Morfologi dan siklus hidup.
Cacing dewasa, menyerupai S. mansoni dan S. haematobium
akan tetapi tidak memiliki integumentary
tuberculation. Cacing jantan, panjang 12-20 mm, diameter 0,50-0,55 mm.
integument ditutupi duri-duri sangat halus dan lancip, lebih menonjol pada
daerah batil isap dan kanalis ginekoporik, memiliki 6-8 buah testis.
Cacing betina panjang ±26 mm dengan diameter ±0,3 mm. Ovarium
dibelakang pada pertengahan tubuh, kelenjar vitellaria terbatas si daerah
lateral; pada ¼ bagian posterior tubuh.
Uterus merupakan saluran panjang dan lurus berisi 50-100 butir telur.
Telur.
Berhialin, subsperis/oval dilihat
dari lateral, dekat salah satu kutubnya terdapat daerah melekuk tempat tumbuh
semacam duri rudimenter (tombol) . telur berukuran 70-100 x 50-65 µm.
Telur khas diletakkan dipusatkan
pada vena kecil pada submukosa atau
mukosa organ yang berdekatan. Tempat telur S.
japonicum biasa pada percabangan
vena mesentrica superior yang mengalirkan darah dari usus halus. Telur
keluar menembus submukosa dan mukosa, kemudian dibebaskan ke dalam lumen usus
bersama-sama darah. Tebalnya dinding dan jaringan parut pada mukosa usus
merupakan penghambat bagi telur untuk menembus jaringan tersebut sehingga ini
merupakan saringan dari dinding usus.
Miracidium menyerupai S. mansoni dan S. haematobium, perbedaannya ukuran yang lebih kecil serta beberapa
struktur kecil internal lainnya. Selanjutnya jika kontak dengan siput yang
sesuai, larva menembus jaringan lunak dalam 5-7 minggu, membentuk generasi pertama
dan kedua sporokista. Pada perkembangan selanjutnya dibentuk serkaria
bercabang. Serkaria ini dikeluarkan jika siput berada pada atau dibawah
permukaan air. Dalam waktu 24 jam, serkaria menembus kulit sebagai hasil kerja
kelenjar penetrasi yang menghasilkan enzim proteolitik, menuju jalinan kapiler,
ke dalam sirkulasi vena menuju jantung kanan dan paru-paru terbawa ke jantung
kiri menuju sirkulasi sistemik. Tidak sepenuhnya rute ini dilalui oleh
schistosomula (muda). Pada migrasi mereka dari paru-paru ke hati. Mungkin
seperti S. mattheei, schistosomula
merayap melawan aliran darah sepanjang dinding arteri pulmonalis, jantung
kanan, dan vena cava menuju ke hati melalui vena hepatica. Infeksi dapat
bertahan untuk jangka waktu yang tidak terbatas, dapat mencapai 47 tahun.
Epidemiologi.
Strain bersifat geografikal. Telah
diketahui ada dua strain yaitu strain Thailand-Malaysia dan strain Sulawesi.
Perbedaan dari dua strain tersebut, yaitu hospes siput yang sesuai. Di
Indonesia, di pulau Sulawesi, keadaan endemik tinggi di daerah Danau Lindu.
Pada tahun 1971 dari pemeriksaan tinja terdapat S japonicum 53% dari 126 penduduk pada usia 7 sampai 70 tahun
(Pinardi, dkk, 1972) dan dilembah Napu dilaporkan infection rate 8 dan 12% pada dua desa serta 7% pada Rattus exulans, tikus liar (Carney,dkk,
1978). Pada tahun 1972, dari hasil survey Departemen Kesehatan. Sub-Direktorat
Schistosomiasis dari beberpa desa di sekitar danau lindu, Lembah Napu dan
daerah Besoa prevalensi S. japonicum
antara 1-67%. Setelah melalui program pemberantasan secara terpadu di
daerah Danau Lindu dan Lembah Napu,
terlihat sekali penurunan prevalensi di Danau Lindu menjadi 1,9% dan di Napu
menjadi 1,5% (1993).
Patologi dan klinik.
Penyakit oleh
spesies ini disebut schistosomiasis
japonica atau dinamakan juga oriental schistosomiasis atau penyakit
Katayama. Organ yang paling serius diserang, saluran pencernaan makanan dan
hati. Jika terjadi infeksi oleh ketiga spesies bersama-sama, parahnya penyakit
tergantung kepada parasit yang utama. Penyakit ini memperlihatkan tiga stadium,
yaitu stadium inkubasi, stadium peletakkan telur dan ekstrusi serta stadium
proliferasi jaringan dan perbaikan.
Selama terjadi
migrasi dan pematangan (stadium
inkubasi), lesi yang mungkin timbul terdiri atas 1) Dermatitis, pada tempat
penetrasi serkaria, tampak pada 24-36 jam setelah infeksi, tidak diikuti
infiltrasi seluler yang istimewa, 2) Perubahan pada paru-paru akibat trauma dan
infiltrasi, berupa perdarahan pada paru-paru serta penimbunan lokal eosinofil,
terdapat sel epiteloid dan giant cells
sekeliling pembuluh darah pulmoner pada migrasi larva yang lemah, 3) Hepatitis
akut mengikuti masuknya larva serta selama pertumbuhannya dalam pembuluh darah
portal intrahepatik, 4) Hiperemi pada dinding usus halus mengikuti masuk serta
pematangan cacing pada vena mesentrica superior, 5) Trauma dengan perdarahan
setelah telur diletakkan oleh cacing betina, melepaskan diri dari venule
kemudian menembus sub mukosa dan mukosa intestinal masuk ke dalam lumen usus
dan 6) Biasanya ditandai dengan meningkatnya eosinofil dalam perdaran darah
sebagai akibat perkembangan proses sensitizing-toxic
patologi akibat absorbsi sistemik dari metabolit cacing.
Sekali
peletakkan telur dimulai, telur akan ditimbun dalam kelompok kecil-kecil,
pendek dalam rangkaian seperti sosis atau berupa gumpalan pada pembuluh venule
mesentrica terkecil dalam sub mukosa. Terjadi penyumbatan aliran darah sehingga
telur muncul dari vena mesentrica. Saat ini terjadi hipermotiliti dari segmen
intestinal yang mengandung parasit dan terjadi rangsangan sekresi lendir oleh
larva yang sedang mengalami pematangan di dalam telur, yang mengakibatkan telur
melepaskan diri dari pembuluh darah masuk ke jaringan perivaskuler disertai
pengeluaran darah, untuk kemudian dilepaskan ke lumen usus dan dikeluarkan
bersama tinja. Sementara itu dengan semakin banyaknya jumlah telur, mukosa dan
submukosa mengalami infiltrasi sel hospes, infiltrasi eosinofil yang jelas,
akan menimbulkan terbentuknya granuloma makroskopis yang disebut
pseudotuberkel. Diameter pseudotuberkel beberapa kali lipat dari diameter sebuah telur atau gumpalan
telur yang terletak di sentral yang kesemuanya bertanggung jawab terhadap
pembentukkan lesi. Sementara telur diletakkan terus menerus, induk cacing
cenderung untuk meninggalkan tempat lama
untuk bermigrasi pada vena mesentrica yang baru pada usus, sedangkan telur yang
berada pada venule yang lebih besar akan menjadi bebas dan terbawa ke dalam
pembuluh porta intrahepatik dan kemudian mereka akan disaring dan akan
ditemukan perivaskular yang akan merangsang
pembentukan pseudotuberkel milier.
Pengobatan.
S.japonicum
lebih pathogen dan lebih resisten terhadap pengobatan dibanding
S. mansonia dan S. haematobium. Agar pengobatan
schistosomiasis japonica berhasil dengan baik, dianjurkan untuk memperhatikan
beberapa hal, 1) Penderita diusahakan
dalam stadium awal dari penyakit sebelum menyerang hati dengan kerusakan yang
tidak dapat diperbaiki ataupun menyerang organ-organ vital, 2) Mencegah
terjadinya reinfeksi, 3) Meningkatkan daya tahan tubuh misalkan dengan
pemberian makanan dengan gizi tinggi, 4) Dapat diberikan pengobatan dengan
tartar emetik serta pengobatan ulang pada kekambuhan ringan dan 5) karena tartar
emetik bersifat hepatotoksik, selama pengobatan dianjurkan untuk dilakukan tes
fungsi hati. Pemberian tartar emetik (kalium antimonium tartrat) dengan
suntikan intravena serta dalam waktu lama merupakan obat efektif dan obat
pilihan pada pengobatan penyakit ini.
Praziquantel merupakan obat
schistosomiasis yang baru dari komponen pyrazinoquinoline, diberikan per-oral
dalam sehari pemberian, ternyata cukup efekif dengan toleransi yang relatif
baik diberikan per-oral dalam 3 dosis,
masing-masing 20 mg/kgBB dengan waktu antara 4 jam, menghasilkan angka
penyembuhan 80%. Efek sampingan terdapat pada 50-60% penderita yang diberi
pengobatan dengan dosis ini, tetapi efeknya ringan serta sementara, tidak enak
perut, sakit kepala, sakit punggung, demam , berkeringat dan pening.
Kemoterapi lainnya, yaitu oxamniquine
dan metrifonate, memiliki efektifitas tinggi, berturut-turut terhadap
schistosomiasis mansoni dan schistosomiasis haematobia sedangkan untuk
schistosomiasis japonica tidak efektif, sedangkan niridazole dapat mengurangi
jumlah telur tetapi tidak mengurangi infeksi.
Pencegahan dan kontrol.
Kontrol pada schistosomiasis
japonica dipersulit dengan dipergunakannya secara umum tinja manusia untuk pupuk pada daerah endemik.
Dianjurkan tinja terlebih dahulu disimpan dalam waktu lebih lama dalam
penampungan tinja atau dengan penambahan desinfektan dengan garam pupuk seperti
ammonium nitrat yang dapat membunuh telur sebelum disebarkan ke ladang. Petani
dan pekerja di air kanal, di sungai secara prinsip tertulari, akan tetapi dapat
pula manusia pada semua usia terutama anak-anak, tertulari selama mandi atau
menyebrang daerah ini, demikian juga pada orang yang menggunakan air yang telah
terinfeksi untuk mencuci pakaian. Banjir
membawa siput yang terinfeksi ke hilir dengan melewati perkotaan. Faktor
lain adalah hospes perantara siput yang memiliki operculum, bersifat amphibi
dan dapat bertahan terhadap pengeringan selama sebulan atau lebih. Siput yang
terinfeksi dapat bertahan hidup beberapa minggu dalam kekeringan dan jika
terkena air kembali, akan menjadi aktif dan mengeluarkan serkaria yang
infektif.
Strategi pemberantasan
schistosomiasis di Indonesia (Adyatma, 1980) sebagai berikut: 1) Meningkatkan
pemberantasan penyakit untuk mencegah kemungkinan penyebaran ke daerah lain, 2)
metode intervensi , yaitu metode kombinasi pengobatan penderita, pemberantasan
keong, perbaikan sanitasi lingkungan dan agroengineering (mengeringkan daerah
rawa-rawa) yang merupakan focus keong, 3) mengadakan kerjasama lintas sektoral
khususnya untuk agroengineering, kerjasama dengan lembaga-lembaga penelitian
untuk menunjang pemberantasan
Pemberantasan Schistosomiasis di
Sulawesi Tengah telah dilakukan sejak 1988 secara terpadu yang melibatkan semua
instansi terkait yaitu Departemen PU, Pertanian, Kehutanan, Dalam Negeri,
Transmigrasi, Kesehatan Tingkat 1 Sul-Teng serta Tim Penggerak PKK. Hasil yang
dicapai dari pemberantasan secara terpadu ini adalah turunnya prevalensi
penderita Schistosomiasis menjadi 1,5% di dataran tinggi Napu dan 2,5% di Danau
Lindu (1993).
b. Schistosomiasis
mansoni
Etiologi
Schistosoma
mansoni (Sambon,1907)
Epidemiologi
Penyakit oleh S. mansoni dinamakan schistosomiasis mansoni, Manson’s
intestinal schistosomiasis atau
bilharziasis. Infeksi pada manusia hampir semua berasal dari sumber manusia
yang lain, walaupum kera dan baboon pada daerah endemik kadang-kadang ditemukan
terinfeksi. Cacing ini terutama tersebar di Afrika dan Brazil serta daerah
lainya yaitu Mesir, Puerto Rico dan Venezuela.
Habitat dan hospes
Habitat pada vena mesentrica inferior
yang mengalirkan darah dari usus besar dan segmen posterior ileum. Telur
ditimbun pada venule di submukosa usus, sebagai hospes definitif, disamping
pada manusia juga pada kera dan
rodensia. Sedangkan sebagai hospes perantara siput air tawar genus Biomphalaria, Australorbis, Tropicobis,
terutama Biomphalaria glabrata dan Biomphalaria
alexandrina.
Morfologi dan siklus hidup.
Morfologi cacing jantan panjangnya
6,4-12 mm, tuberkulasi jelas, duri kasar, testis 6-9 buah, pinggir lateral
saling mengunci oleh duri acuminate, pada tempat ini lebih panjang dari tepat
lain. Cacing betina panjangnya 7,2-17 mm, letak ovarium di anterior pertengahan
tubuh, kelenjar vitellaria memenuhi pinggiran lateral dan pertengahan tubuh,
uterus pendek diisi beberapa butir telur (1-4 butir)
Gambar 7. Cacing dewasa Schistosoma mansoni
Telur
Berukuran 114-175 x 45-68 µm, berwarna
coklat kekuningan, transparan, dekat salah satu kutubnya terdapat duri lateral
yang spesifik. Telur menghasilkan enzim untuk memudahkan keluar melewati
jaringan masuk ke dalam lumen usus. Telur sudah matang, akan segera pecah
setelah kontak dengan air karena sifatnya yang menyerap air.
Siklus hidup
Siklus hidup S mansoni, pada kondisi yang menguntungkan, waktu minimum yang
dibutuhkan ± 4 minggu. Serkaria memiliki beberapa pasang kelenjar penetrasi
pada bagian kepalanya, menembus kulit hospes pada lipatan, lubang rambut atau
dibawah selaput tanduk. Perjalanan selanjutnya sama dengan S. japonicum.
Gejala klinik
Granuloma oleh S. japonicum lebih besar, lebih
eksudatif, lebih destruktif serta meninggalkan sisa jaringan parut yang lebih
besar. Organ yang lebih serius diserang kolon dan rectum, akan tetapi pada hati
juga akan terjadi proses patologis terutama fibriosis hati. Sama seperti S. japonicum, S.mansoni juga menunjukkan
tiga stadium : 1) Periode inkubasi, 2) Periode deposisi dan ekstrusi telur dan
3) Periode proliferasi jaringan dan perbaikan. Ekstrusi telur yang pertama
terjadi pada 5-7 minggu setelah infeksi, diikuti disentri schistosomiasis yang
klasik dengan lendir dan darah pada tinjanya. Hati dan limpa juga sangat
membesar dengan perabaan lunak, mula-mula disebabkan oleh infiltrasi telur.
Telur mungkin masuk ke jaringan paru-paru, pankreas, limpa, ginjal, adrenal,
miokardium atau kadang-kadang sumsum tulang belakang dan memulai proses
patologi dari organ-organ ini dengan
gejala-gejala yang sesuai. Pada sekitar 0,1% penderita, telur dengan duri
lateral sampai pada vesica urinaria yang akan
dikeluarkan bersama urine. Komplikasi pulmoner pada schistosomiasis
mansoni termasuk tipe bronchopulmoner menyerupai TBC lanjut, dengan enarteritis pembuluh darah
pulmoner serta bentuk cardiopulmoner yang berakhir dengan
lemah jantung kongestif
Diagnosis
Selama fase
prodromal sampai akhir periode prepaten, diagnosis dapat dilakukan dengan tes
serologis. Segera setelah ekstrusi telur dimulai, diagnosis dengan menemukan
telur dalam tinja dengan metode konsentrasi jika telur tidak ditemukan pada sediaan
langsung atau pada “Kato thick fecal film”. Dilakukan dengan sedimentasi
pada 0,5% gliserin dalam air atau dengan
metode konsentrasi lain. Penderita dengan disertai komplikasi pulmoner yang
disebabkan oleh schistosomiasis, maka diagnosis didasarkan pada gambaran
klinis, visualisasi dari lesi pada sinar rontgen dan pada waktunya menemukan
telur dalam sputum. Jika telur pada pemeriksaan tidak dapat ditemukan,
dilakukan pemeriksaan serologis. Untuk survey di masyarakat, dapat digunakan
metode Kato dengan hasil yang cukup baik.
Pengobatan
Tartar emetik
seperti pada S japonicum cukup efektif, hanya sulit dalam pemberian dan
toleransinya rendah sehingga bukan merupakan obat pilihan. Obat-obat lainnya
yaitu Stibofen (Fuadin), pemberian intramuscular dalam larutan 6,3% 40-75 ml
yang diberikan dalam 10-16 kali pemberian. Niridazole (CIBA 32.644 Ba atau
Ambilhar) efektif mengobati Schistosomiasis mansoni dengan dosis perhari 25
mg/kgBB, diberikan dalam waktu 5-10 hari. Obat lainnya yang cukup baik adalah
nitroquinoline, Oxamniquine,yang diberikan per-oral. Dosis optimim belum dapat
ditentukan, disarankan dosis 15 mg/kgBB dalam dosis tunggal. Niridazole lebih
efektif pada anak-anak daripada Oxamniquine yang efektif pada orang dewasa.
Pengobatan dengan Praziquantel aman dan
efektif pada dosis tunggal 40 mg/kgBB. Oltripaz merupakan obat baru yang
dilaporkan juga efektif untuk Schistosomiasis mansoni.
Pencegahan
Pencegahan sama dengan S japonicum, pada prinsipnya penggunaan
Moluscisida pada beberapa keadaan dapat efektif mengurangi atau secara lengkap
memutuskan transmisi parasit, akan tetapi membutuhkan waktu lama. Program
kesehatan masyarakat dengan menyediakan tempat mandi umum, mencuci pakaian
serta system pembuangan yang sehat memberikan pencegahan yang baik terhadap
penyakit ini.
c. Schistosomiasis haematobium
Etiologi
Schistosoma
haematobium (Bilharz, 1852 dan Weiland, 1858)
Epidemiologi.
Merupakan trematoda darah yang dapat
menyebabkan Schistosomiasis vesikalis (penyakit parasit pada organ
genitourinari), schistosomiasis haematobia, vesical atau urinary bilharziasis,
Schistosomal hematuria. Schistosomiasis haematobium sering
terjadi di hulu sngai Nil. Sebagian besar Afrika termasuk kepulauan di Pantai Timur Afrika, ujung Selatan Eropa,
Asia barat dan India
Habitat dan hospes
S.
haematobium dewasa hidupnya terutama di flexus vena vesikalis dan pelvic, mungkin
pada aliran darah porta, vena mesentrica inferior, vena pudendalis, vena
haemorroidalis, jarang pada venula lainnya. Hospes definitif selain manusia
juga kera (Cercocebus torquatus atys),
baboon (Papio doguera dan Papio rhodesiae), Chimpanzee (Pan satirus). Hospes perantara siput air
dari genus Bulinus dan Planorbarius.
Morfologi dan siklus hidup
Cacing jantan gemuk, berukuran 10-15 x
0,8-1 mm, ditutupi integument tuberkulasi kecil, memiliki dua batil isap
berotot, yang ventral lebih besar. Di belakang batil isap ventral, melipat ke arah
ventral sampai ekstremitas kaudal, membentuk kanalis ginekoporik. Persis di
balakang batil isap ventral terdapat 4-5 buah testis besar. Porus genitalis tepat
dibawah batil isap ventral.
Cacing betina panjang silindris, ukuran
20 x 0,25 mm, batil isap kecil, ovarium terletak posterior dari permukaan
tubuh. Uterus panjang sekitar 20-30
telur berkembang pada satu saat dalam uterus. Oviposisi biasa terjadi dalam
venule kecil pada vesica urinaria dan pelvicus seperti venule rectalis.
Tempat-tempat ektopik ditemukan pada kelenjar prostat dan jaringan subkutan
lipat paha dan scrotum, jaringan kulit sekitar umbilicus, conjunctiva dan kelenjar
lakrimalis. Telur dapat menembus dinding pembuluh darah menembus mukosa sampai
ke lumen bersama darah yang keluar dari luka, keluar bersama urine terutama
pada akhir miksi atau pada tinja disentri.
Morfologi telur Schistosoma haematobium
Berwarna coklat kekuningan, memiliki
duri terminal, transparan, berukuran 112-170 x 40-70 µm. pada siput yang sesuai
dalam 4-8 minggu terbentuk sporokista generasi pertama dan kedua, akhirnya akan menjadi serkaria
yang setiap hari akan lolos dari tubuh siput secara berkelompok selama beberapa
minggu atau bulan, setelah meninggalkan siput serkaria berenang aktif mencari
hospes. Serkaria kontak dengan kulit, air menguap, menembus kulit, ekornya
dilepaskan. Keadaan hidup bebas ini tidak lebih dari 3 hari (biasanya 24 jam atau kurang), selama dapat
bertahan tidak makan. Kemudian menembus ke bawah permukaan epidermis dengan
lincah dalam waktu kurang dari 30 menit. Biasanya dalam 1-2 hari, larva telah
sampai venule perifer, terbawa ke jantung kanan, masuk ke dalam pembuluh darah
pulmoner. Menjelang dewasa memerlukan waktu 20 hari sejak penetrasi ke dalam
kulit. Mereka masuk ke dalam vena mesentrica inferior, tinggal dan matang dalam
vena rektalis, akan tetapi biasanya bermigrasi
melalui vena haemorroidalis dan vena pudendalis menuju vena vesicalis
dan plexus pelvicus, mereka sampai dalam waktu 3 bulan setelah menembus kulit.
Periode prepaten biasanya memerlukan waktu 10-12 minggu.
Gejala klinik
Setelah kontak dengan kulit manusia, serkaria
masuk ke dalam pembuluh darah kulit.
Lebih kurang 5 hari setelah infeksi, cacing muda mulai menjangkau vena porta
dan hati. Kira-kira tiga minggu setelah infeksi, pematangan cacing dimulai sejak
keluar dari vena porta. Setelah 10-12 minggu cacing betina mulai meletakkan
telur pada venule. Pada schistosomiasis vesicalis, primer kerusakan jaringan
pada dinding vesica urinaria, sekunder pada bagian distal ureter, organ
urinarius dan genital yang berdekatan atau rectum dan akhirnya pada paru-paru
dan organ yang lebih jauh. Bila jumlah telur lebih banyak maka akan
diinfiltrasi dan ditahan dalam jaringan, menjadi pusat pembentukkan
pseudoabses. Abses dekat lumen vesica urinaria atau organ lain, mungkin pecah
dan mengeluarkan telurnya , berlanjut dengan pembentukkan jaringan fibrosis
berakhir dengan pembentukkan pseudotuberkel yang akhirnya akan terjadi fibrosis
seluruh organ. Efek S.haematobium
terdiri atas: 1) Reaksi lokal dan umum terhadap metabolit cacing yang sedang
tumbuh dan matang, 2) Trauma dengan perdarahan akibat telur keluar dari venule,
3) Pembentukkan pseudoabses dan psudotuberkel mengelilingi telur terbatas pada
jaringan perivaskular dan 4) Obstruktif uropati. Aspek klinik infeksi terbagi
menjadi tiga periode : masa inkubasi,
deposisi dan ekstruksi telur, proliferasi jaringan dan perbaikan.
Deposisi dan ekstrusi telur, inflamasi
dan pembentukkan pseudotuberkel pada
sekeliling telur diikuti: (1) hyperplasia dan fibrosis umum dinding vesica dan
ureter bagian bawah.(2) infeksi sekunder. Gejalanya berupa sistitis kronis.
Pemeriksaan sitoskopis menjadi lebih sulit. Lesi yang terjadi pada laki-laki
dapat sampai penis dan elephantiasis organ akibat penyumbatan limphaticus
scrotalis. Lesi pada wanita biasanya kurang berat meskipun cervix, vagina dan
vulva mungkin dikenai.
Diagnosis.
Diagnosis spesifik hanya dapat dibuat :
1) setelah telur dilepaskan ke dalam lumen vesica urinaria dan muncul dalam
urine atau 2) setelah telur dilepaskan ke dalam lumen usus dan ditemukan
bersama tinja atau 3) dari bahan aspirasi atau biopsi yang diperoleh melalui
cytoscope atau proctoscope dan diperiksa secara mikroskopik terhadap adanya
telur. Immunodiagnosis umumnya hanya merupakan group specific sering dilakukan pada kasus dengan gejala-gejala
selama prepaten yang terlambat.
Telur S. haematobium biasanya terdapat dalam urine, meskipun pada infeksi
berat dapat ditemukan pada faeces. Bahan pemeriksaan urine hematuri dapat
terdiri dari banyak telur terperangkap dalam lendir dan nanah. Puncak eksresi
telur terjadi antara siang dan jam tiga sore. Specimen yang dikumpulkan pada
waktu tersebut atau urine 24 jam tanpa pengawet,dapat digunakan untuk
pemeriksaan mikroskopis setelah disentrifuge atau sedimentasi. Yang harus
diperhatikan dalam diagnosis Schistosoma haematobium :
Telur tidak
terdapat dalam urine sampai cacing dewasa ( memerlukan waktu 5 sampai 13 minggu
setelah awal infeksi)
Pada infeksi
ringan atau kronis telur akan sulit didapat dalam urine, sehingga dibutuhkan
pemeriksaan berulang-ulang atau pemeriksaan serologis akan sangat membantu
Kadangkala
terdapat juga dalam faeces sehingga perlu dilakukan pemeriksaan urine dan
faeces
Teknik membrane
filtrasi menggunakan saringan nukleopore akan sangat membantu dalam penegakkan
diagnosa
Pasien yang
telah menjalani pengobatan harus di follow-up dan pemeriksaan terus dilakukan
sampai 1 tahun untuk mengevaluasi pengobatan
Pada infeksi
aktif, telur dapat mengandung miracidia
Pengobatan
Obat merrifonate (Bilarcil),
organoposfor cholinesterase inhibitor, tidak efektif terhadap S japonicum dan S mansoni tetapi unggul dalam pengobatan terhadap Schistosomiasis
vesikalis karena murah, manjur dan mudah diterima oleh penderita. Dengan dosis
5-15 mg/kgBB diberikan dengan interval 2 minggu untuk 3 dosis membutuhkan waktu
4 minggu. Oxamniquine tidak efektif untuk schistosomiasis vesikalis
Pencegahan.
Mengurangi sumber infeksi dari cacing ini dilakukan
dengan pengobatan penderita, terutama pengobatan massal di daerah endemik.
Dapat dilakukan pencegahan dengan tiga program, yaitu: 1) eradikasi tuan rumah
molusca, paling sedikit untuk satu siklus transmisi, dengan penanganan air dan
kampanye moluscasida pada daerah endemic. 2) perbaikan sanitasi lingkungan
untuk mengurangi kepadatan habitat siput dimana
telur schistosoma dikeluarkan
pada urine dan faeces manusia yang merupakan sumber infeksi untuk siput, 3)
pengobatan secara efektif pada penderita terutama carrier untuk mengurangi
kontaminasi pada air.
2. Trematoda
usus
Yang termasuk Trematoda usus, yaitu: Fasciolopsis buski, Metagonimus
yokogawai, Echinostoma ilocanum, Gastrodiscoides hominis, Heterophyes
heterophyes, dan watsonius watsoni. Siklus
hidup pada umumnya memerlukan dua hospes perantara tempat telur keluar bersama
tinja hospes definitif, dan telur yang keluar dapat sudah matang atau belum matang tergantung jenis spesies.
Habitatnya di
usus halus. Umumnya gejala klinis disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya
oleh trauma yang dapat menimbulkan inflamasi serta ulserasi mukosa usus. Cacing
dalam jumlah banyak dapat menimbulkan obstruksi walaupun jarang obstruksi
total, faktor lainnya dan dapat menimbulkan gejala klinis adalah akibat zat
racun yang dihasilkan oleh parasit. Gejala klinik ringan berupa diare, sakit
perut, sedangkan pada penyakit yang lebih berat, nyeri perut akan lebih hebat ,
astenis kemudian timbul gejala toksis umum dan keluhan alergi.Diagnosis umumnya dengan menemukan telur dalam tinja.
d. Fasciolopsis
buski
Penyakit yang disebabkan oleh trematoda usus Fasciolopsis buski disebut dengan fasciolopsiasis.
(Lancester,1857, Odher ,1902, ditemukan di RRC, Taiwan, Vietnam, Thailand dan
juga Indonesia)
Habitat dan Hospes
Melekat terutama pada dinding mukosa
duodenum dan jejunum. Pada infeksi berat dapat ditemukan pada phylorus atau
usus besar. Hospes definitif selain manusia juga ditemukan pada babi dan
anjing.
Yang bertindak sebagai hospes
perantara I yaitu : keong air tawar genus Hippeutis,
Gyraulus, Segmentia, Lymnaea, sedangkan sebagai hospes perantara II adalah
tumbuhan air diantaranya Trapa bicornus,
Trapa natans, Eliocharis tuberose (water chestnut), Salvinia natans, Eichornia (eceng gondok) dan Zizania (bambu air).
Morfologi dan siklus hidup.
Ukuran 20-75 mm x 8-20 mm dengan ketebalan 0,5-3 mm,
diameter batil isap kepala, sedangkan batil isap perut 2-3 mm. porus genitalia
terletak sebelah depan dari asetabulum. Khas integument berduri serta tidak
memiliki chepalic cone. Caecum tidak bercabang, testis dua bentuk bercabang letaknya berurutan sebelah
posterior ovarium, dengan uterus berkelok
Telur.
Telur menyerupai Fasciola
hepatica, memiliki operculum,
berukuran 130-140 x 80-85 µm. telur terus menerus dikeluarkan ke dalam rongga usus hospes, membutuhkan pematangan di air dalam
waktu 3-7 minggu.
Perubahan yang terjadi pada hospes perantara I dari
miracidium berturut-turut berubah menjadi sporokista, selanjutnya terjadi dua tingkatan redia yaitu
redia I, redia II dan akhirnya menjadi serkaria. Akhirnya dalam tubuh hospes
perantara II berubah menjadi metaserkaria. Dalam tuibuh hospes terjadi eksistasi di dalam duodenum dan akan
menjadi dewasa dalam tiga bulan.
Gejala klinik
Penyakit yang ditimbulkan oleh Fasciolopsis buski disebut fasciolopsiasis. Trauma oleh cacing
dewasa menimbulkan inflamasi dan ulserasi mukosa usus di tempat menempel cacing
cacing dewasa. Pada infeksi ringan atau
sedang tidak menimbulkan gejala spesifik. Jika parasit jumlahnya banyak,
terjadi peningkatan produksi sekresi mucus dan dapat mengakibatkan
obstruksi partial usus serta illeus
partial. Pada dinding usus dapat terjadi abses. Selanjutnya dapat timbul gejala
intoksikasi dan sensitisasi akibat penyerapan metabolit cacing oleh tubuh.
Gejala awal berupa toxic diarrhea dengan hunger pain yang timbul setelah
berakhirnya masa inkubasi. Diare diawali konstipasi, kemudian diare akan
persisten, tinja hijau kekuningan dan
berisi makanan yang tidak dicerna. Ascites sering terjadi disertai nyeri
abdomen. Kematian biasanya disebabkan karena intoksikasi. Gambaran pada apus
darah 45% menunjukkan leukositosis dengan eosinofil absolute serta neutrofilik
leucopenia. Kadang-kadang terjadi limfositosis sedangkan pada erirosit tidak
mengalami perubahan.
Diagnosis
Dipastikan dengan menemukan telur dalam tinja
Pengobatan
Dapat diberikan obat-obat anthelmintik, sebagai obat pilihan
hexylrecorcinol dengan dosis tunggal 0,4 gr (1-7 tahun), sampai 1 gr untuk 13
tahun ke atas tapi sekarang jarang tersedia. Tetracloroethylene , seperti pada
pengobatan cacing kait dengan dosis tunggal 0,12 ml/kgBB (dosis maksimal 5 ml),
setelah puasa tanpa diberi pencahar. Pengobatan ini efektif juga untuk
fascilopsiasis. Diclorophen menunjukkan pengurangan jumlah cacing pada 2/3
kasus dengan pengurangan jumlah telur lebih dari 80%. Pemberian per-oral dengan
dosis sesuai berat badan hospes. Praziquantel menjadi obat pilihan dengan dosis
tunggal 40 mg/kgBB
Pencegahan
Beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk pencegahan antara lain dengan mengobati penderita, juga
babi yang terifeksi dengan maksud menghilangkan sumber infeksi. Memusnahkan
keong, tumbuhan air yang menjadi hospes perantara. Dan memasak hospes perantara dengan baik sebelum dimakan.
3.
Trematoda hati
Trematoda hati terdiri dari beberapa spesies yaitu; Clonorchis sinensis, Opisthorchis viverini, Dicrocoelium dendriticum,
Fasciola hepatica,dan Opisthorchis felineus. Umumnya trematoda hati habitatnya tidak pada sel hati
melainkan pada saluran empedu dan hanya sekali-kali menginfiltrasi jaringan
hati.
Siklus hidup.
Trematoda hati juga membutuhkan dua hospes perantara. Hospes
I adalah siput air tawar serta hospes perantara II ikan, tumbuhan air atau yang
lainnya tergantung spesies. Pada hospes perantara I juga seperti trematoda usus
yakni dari miracidium sporokista, redia dan serkaria, sedangkan pada hospes II
terjadi perubahan serkaria menjadi metaserkaria yang menyerupai “kista” dengan
larva di dalamnya. Selanjutnya dalam perjalanan siklus hidupnya untuk sampai di
habitat dengan melalui dua jalan. Jika “kista” tertelan bersama hospes
perantara II di dalam duodenum “kista”
pecah dan keluar larva ada yang langsung masuk saluran empedu sebelah distal
ada juga species yang masuk ke cabang-cabangnya melalui ampula vateri
Gejala klinik
Gejala klinik yang timbul umumnya terjadi akibat penyumbatan
saluran empedu oleh cacing dewasa atau oleh telur.
Diagnosis.
Ditegakkan dengan menemukan telur dalam tinja, kadang-kadang
diperlukan imunodiagnosis.
e. Fascioliasis
Etiologi
Fasciola hepatica
Gejala klinik
Menyebabkan penyakit fascioliasis/fasciolosis, terutama
menyerang domba dan ternak, yang
mengakibatkan anemia, penurunan berat badan, kadang disertai diare dan odema sub
mandibularis.
Morfologi dan siklus hidup.
Cacing dewasa
Ukuran panjang
30 mm x lebar 13 mm
Berbentuk
menyerupai daun
Bagian anterior
lebih lebar dibandingkan bagian posterior
Memiliki oral
sucker pada anterior, dan ventral sucker tempat melekat pada saluran empedu
Memiliki
ovarium dan testis sehingga dapat memproduksi telur sendiri
Telur
Ukuran panjang 140 µm
dan lebar 75 µm
Memiliki operkulum
Siklus hidup
Untuk menyempurnakan siklus hidupnya Fasciola hepatica
membutuhkan keong air sebagai hospes perantara seperti Galba truntacula (parasit dapat bereproduksi aseksual). Dari keong,
serkaria timbul dan berenang di air dan terjadi enkistasi sebagai metaserkaria
pada tumbuhan air. Metaserkaria dimakan oleh ruminansia atau dapat terjadi pada
manusia yang memakan sayuran mentah, kontak dengan pH yang rendah di lambung terjadi ekskistasi. Di duodenum
parasit keluar dari metaserkaria dan menuju rongga peritoneal. Pada tahap ini
serkaria tidak makan tetapi setelah ditemukan di parenkim hati, setelah
beberapa hari fase makan terjadi. Stadium jaringan hati merupakan stadium
patogenik penyebab anemia dan timbul gejala klinis. Parasit berada di jaringan
hati selama 5-6 minggu dan kadang ditemukan di saluran empedu, ketika matang
dan dewasa akan bertelur lebih dari
25.000 dalam satu hari.
Immature eggs are discharged in the biliary
ducts and in the stool
. Eggs become embryonated in water
, eggs release miracidia
, which invade a suitable snail intermediate host
, including the genera Galba, Fossaria and Pseudosuccinea.
In the snail the parasites undergo several developmental stages (sporocysts
, rediae
, and cercariae
). The cercariae are released from the snail
and encyst as metacercariae on aquatic vegetation or other
surfaces. Mammals acquire the infection by eating vegetation containing
metacercariae. Humans can become infected by ingesting
metacercariae-containing freshwater plants, especially watercress
. After ingestion, the metacercariae excyst in the
duodenum
and migrate through the intestinal wall, the peritoneal
cavity, and the liver parenchyma into the biliary ducts, where they develop
into adults
. In humans, maturation from metacercariae into adult
flukes takes approximately 3 to 4 months. The adult flukes (Fasciola
hepatica: up to 30 mm by 13 mm; F. gigantica: up to 75 mm) reside in
the large biliary ducts of the mammalian host. Fasciola hepatica
infect various animal species, mostly herbivores.
Diagnosa
Diagnosa
pasti dengan ditemukannya telur Fasciola
hepatica pemeriksaan langsung pada spesimen faeces, aspirat usus atau aspirat empedu, akan tetapi cacing
belum bertelur empat bulan setelah infeksi, sehingga untuk pemeriksaan dapat
dilakukan dengan pemeriksaan serologis ELISA dengan sensitifitas 95% dapat
mendeteksi antibody terhadap Fasciola
hepatica dua minggu setelah infeksi.
Pengobatan.
Obat terpilih untuk pengobatan fasciolosis adalah
triklabendazol, anggota dari benzimidazol dan merupakan antelmintik. Kerja obat
dengan mencegah polimerisasi molekul tubulin ke dalam struktur sitokeletal,
mikrotubul.
f. Clonorchiasis
Etiologi : Clonorchis sinensis (Cobbold,
1875, Looss 1907).
Epidemiologi. Parasit ini terdapat endemic di RRC, Jepang,
Korea, Vietnam dan Taiwan.
Habitat dan hospes
Clonorchis sinensis
habitatnya dalam saluran empedu kadang-kadang bersama-sama saluran pancreas.
Cacing ini dapat hidup selama 20-25 tahun. Hospes definitifnya terutama manusia
dapat juga kucing dan anjing. Membutuhkan dua hospes perantara, yaitu hospes
perantara I siput air tawar genus Bulimus,
Parafossarulus, Alocinma serta
spesies Melanoides tuberculatus
mungkin juga dari genus Thiara, Semisulcospira. Bertindak
sebagai hospes perantara II adalah ikan dari family Cyprinidae (terutama di Jepang),
salmonidae, gobbidae, dan
Anabantidae.
Morfologi dan siklus hidup.
Cacing dewasa
Bentuk cacing pipih memanjang, transparan dan bagian posterior
membulat. Memiliki ukuran 10-25 x 3-5 mm dengan integument tidak berduri, batil
isap kepala sedikit lebih besar dibandingkan batil isap perut dan terletak pada
1/3 anterior tubuh. Gambaran khas pada besar dan dalamnya lekuk lobus/cabang
testis, dengan cabang ke lateral. Letak testis berurutan, sebelah posterior
dari ovarium yang lebih kecil dan juga berlobus. Ovarium ini terletak digaris
tengah, pada pertemuan 1/3 posterior dan
1/3 tengah tubuh, uterus tampak berkelok-kelok, bermuara pada porus genitalis
berdampingan dengan muara alat kelamin jantan.
Telur.
Telur berbentuk oval dengan ukuran 28-35 x 12-19 µm, ukuran
dinding sedang, memiliki operculum konveks, bagian posterior menebal.
Telur diletakkan dalam saluran empedu dalam keadaan sudah
matang kemudian keluar bersama tinja dan
baru menetas apabila ditelan oleh hospes perantara I. telur dalam tinja dapat
bertahan selama 2 hari pada suhu 26⁰C
dan 5 hari pada suhu 4-8⁰C.
dalam hospes perantara I miracidium berubah menjadi sporokista, redia dan serkaria.
Serkaria memiliki kelenjar penetrasi pada bagian kepala untuk menembus ikan
tempat akan membentuk metaserkaria dalam otot atau kulit ikan tersebut. Perkembangan
dalam tubuh ikan berlangsung selama 23 hari. Jika daging ikan yang mengandung cacing
tersebut (“kista”) dimasak kurang sempurna, jika dimakan hospes maka di dalam
duodenum, larva keluar dari “kista” masuk ke saluran empedu sebelah distal dan
cabang-cabangnya melalui ampula vateri. Untuk menjadi cacing dewasa diperlukan
waktu satu bulan, sedangkan seluruh siklus diperlukan sekitar 3 bulan.
Gejala klinik
Penyakitnya clonorchiasis yang akan
terjadi proliferasi epitel dan reaksi inflamasi pada tempat melekat cacing,
kemudian disini dibentuk jaringan fibrosis. Ternyata penyakit ini 9%
menimbulkan cirrhosis hepatis dan 6%
obstruksi ductus billiaris communis oleh cacing dewasa atau oleh batu yang
terbentuk karena adanya parasit ini atau keduanya. Mungkin cacing
menginfiltrasi jaringan hati sehingga terjadi destruksi sel parenchym hati.
Gejala clonorchiasis terdiri dari
tiga stadium : 1) Ringan biasanya tanpa gejala (asimptomatik) 2). Progresif dengan nafsu makan yang tidak menentu, perut
terasa penuh, diare, edema dan hepatomegali dan 3) Berat dengan syndrome yang
yang berhubungan dengan cirrhosis portal. Ikterus tidak selalu ditemukan. Juga
terjadi gejala toksemia akibat cacing dan produknya berupa palpitasi jantung
dan takikardi, vertigo, tremor, kram dan depresi mental. Terjadi
hepatomegali-lunak, sedikit ikterik pada sclera. Dapat juga terjadi
splenomegali dan eosinofilia pada 10-40%. Beberapa minggu kemudian masuk ke
stadium kronis dengan cholecystitis dan hepatitis sekunder. Kematian biasanya
disebabkan penyakit kandung empedu atau hepatitis sekunder.
Diagnosis.
Ditegakkan dengan menemukan telur dalam tinja atau dari
aspirasi duodenum, kadang-kadang diperlukan diagnosis immunologi
Pengobatan
Dapat diberikan klorokuin difosfat dosis 250 mg 3 kali
sehari selama 6 minggu. Pengobatan ini sering gagal disertai optic neuropati,
sehingga perlu dicari obat lain yang lebih baik. Praziquantel lebih efektif dan
lebih aman.
Pencegahan
Mengurangi sumber infeksi dengan
melakukan pengobatan pada penderita. Menghindarkan penularan melalui ikan
dengan memasak sempurna, pengasinan, pendinginan
atau pemberian cuka bagi ikan yang akan dimakan, selain itu diperlukan
pendidikan yang berhubungan dengan sanitasi.
Distribusi geografik:
Daerah
endemis adalah Asia termasuk Korea, China, Taiwan, dan Vietnam. Clonorchiasis juga
dilaporkan terjadi di Negara nonendemis(Amerika Serikat). Kasus infeksi terjadi
pada imigran atau memakan ikan segar
mentah yang mengandung metaserkaria .
4.
Trematoda paru-paru.
Trematoda yang habitatnya di paru-paru spesies Paragonimus
westermani yang menyebabkan penyakit yang disebut paragonimiasis (Kerbert,
1878, Braun 1899)
Epidemiologi.
Kosmopolit pada mamalia, terutama daerah Timur jauh di
Jepang, Philipina, Korea, India, Muangthai, Taiwan, Afrika dan lain-lain. Di
Indonesia merupakan infeksi pada binatang. Hospes definitif selain manusia juga
binatang mamalia antara lain anjing dan kucing. Sebagai hospes perantara I keong air tawar Semissulcaspira libertina (jepang), Brotia asperata (Phililipina),
B. costula episcopalism (Malaysia), Syncera
spp dan Melania. Sedangkan hospes
perantara II ketam air tawar genus Potamon,
Eriocheir, sesarma spp dan udang batu (crayfish).
Morfologi dan siklus hidup.
Cacing berwarna coklat, jika sedang aktif menyerupai sendok,
kutikulum berduri, batil isap sama besar. Cacing dewasa hidup dalam kantung
(kista) di paru-paru, tiap kista bisa berisi dua ekor cacing, juga dapat
dijumpai pada organ lain. Ukuran 7,5-12 x 4-6 mm dengan tebal 3,5-5 mm,
integument ditumbuhi duri. Oral dan ventral sucker hampir sama besar (0,75-0,8
mm) testis berlobus dalam, letak berdampingan di garis tengah di antara ventral
sucker dan ujung posterior. Ovarium besar, berlobus, pada sisi kiri atau kanan setinggi
asetabulum, uterus berkelok berbentuk roset pada sisi berlawanan dengan ovarium
sedikit anterior dari ovarium. Dari kantung, telur keluar ke bronchiolus, dibatukkan bersama sputum atau tertelan keluar bersama
tinja
Telur berwarna coklat keemasan, memiliki operkulum, ukuran
80-118 x 48-60 µm. Akan menetas di air
setelah pematangan 2-3 minggu. Di dalam hospes perantara I, miracidium berubah menjadi redia 1 dan redia 2, akhirnya
serkaria. Dalam hospes perantara II serkaria berkembang menjadi metaserkaria perlu waktu kurang lebih lima bulan. Pada hospes difinitif, di dalam
duodenum terjadi eksitasi, keluar larva kemudian menembus dinding usus (dalam
30-60 menit), memasuki rongga perut 3-6 jam, masuk ke dalam dinding perut
tinggal beberapa hari sebelum menembus diafragma, ke rongga pleura untuk
akhirnya masuk ke bronchiolus (paru-paru). Dibentuk suatu kapsul yang berasal
dari epitel bronchiolus yang mengalami hipertropi. Kadang-kadang sampai ke
tempat ektopik, seperti mesenterium, pleura atau otak dan akan menjadi dewasa
di tempat ini . waktu yang dibutuhkan untuk satu siklus 65-90 hari, infeksi
menetap sampai 20 tahun.
Gejala klinik dan patologi
Cacing ini menimbulkan penyakit
paragonimisiasis atau distomiasis paru-paru. Sekeliling parasit terjadi
infiltrasi leukosit diikuti pembentukkan simpai fibrotic, membentuk “kista”
berisi dua ekor cacing, darah purulen serta telur cacing. Disekitar “kista”
terjadi infiltrasi sel radang. “kista” biasa terdapat pada bagian dalam
paru-paru dengan diameter ± 1 cm. kelainan dalam paru-paru dibagi menjadi empat
kelompok, yaitu: 1) Tidak bernanah, dengan infiltrasi telur pada jaringan
hospes terutama dikelilingi sel dan reaksi jaringan ikat, biasanya membentuk
abses, 2) Tuberkel-like, abses berisi bahan yang kental, 3) bernanah
(supuratif) dan 4) Ulseratif berupa lesi.
Gejala mula-mula timbul demam, menggigil,
batuk kering kemudian hemaptoe dengan dahak lengket, berwarna coklat karat terutama
pada waktu bangun pagi disebut endemic hemoptysis. Disertai nyeri dada,
kadang-kadang hemaptoe diikuti batuk yang paroksismal. Pemeriksaan fisik
menunjukkan suatu bronchopneumonia atau bronchiektasi dengan efusi pleura. Jika
cacing sampai di otak menimbulkan epilepsy Jackson, hemi/monoplegi ataupun
gejala lain tergantung lokasi otak yang diserang. Di Jepang dan Korea terjadi
pada usia di bawah 15 tahun, terjadi infantil paralysis, perdarahan otak,
ensefalitis atau meningitis disebabkan cacing bermigrasi ke otak, jika cacing
berada di bawah kulit menimbulkan tumor yang bergerak.
Diagnosis.
Dengan menemukan telur dalam sputum, aspirasi cairan pleura,
tinja ataupun dari, kadang-kadang diperlukan tes serologi dengan lesi kulit (teknik
intradermal) atau complement fixation
test.
Pengobatan.
Dapat diberikan obat emetin hidroklorida hasilnya cukup
baik, merupakan obat pilihan yaitu bithionol (2,2’-thiobis[4,6-dichlorophenol])
diberikan per-oral 30-50 mg/kgBB selang sehari dengan 10-15 dosis. Obat lain
praziquantel 25 mg/kgBB, 3 kali perhari setelah makan diberikan 3 hari
menunjukkan kesembuhan mendekati 100% tanpa efek sampingan yaitu batuk berisi
cacing mati atau hidup setelah 8-20 hari.
Pencegahan
Pengobatan penderita untuk mengurangi sumber infeksi, ketam
yang akan dimakan dimasak dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Natadisastra
Djaenudin, Ridad Agoes, Parasitologi Kedokteran, Ditinjau dari Organ Tubuh yang
Diserang, Cetakan 1, EGC, 2009
2.
Winn
Washington, Stephen Allen, Willian Janda, Elmer Koneman, Gary Procop, Paul
Schreckenberger, Gall Woods, Color Atlas and Textbook of Diagnostic
Microbiology, Sixth edition, Lippincott Williams & Wilkins, 2006