Nabi
shalallahu ‘alaihi wa sallam telah mengabarkan
kejadian-kejadian yang akan menimpa umatnya di akhir zaman, dan tentunya
beliau pun telah memberikan bimbingan untuk umatnya dalam menghadapi
fitnah dan kerusakan-kerusakan yang terjadi di zaman itu, karena beliau
adalah seorang Nabi yang sangat sayang kepada umatnya, Allah
Ta’ala berfirman,
لَقَدْ جَآءَكُمْ رَسُولٌ مِّنْ أَنفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَاعَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ
“
Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu
sendiri, berta terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan
(hidayah) bagimu, amat belas kasih lagi penyayang kepada orang-orang
mu’min.” (QS. At Taubah : 128)
Di antara bimbingan yang telah Nabi
shalallahu ‘alaihi wa sallam berikan kepada umatnya yang akan hidup di akhir zaman adalah:
Menuntut Ilmu Allah
Telah kita sebutkan pada tulisan sebelumnya tentang datangnya zaman
yang penceramahnya banyak dan ulamanya sedikit dimana menuntut ilmu di
zaman tersebut lebih baik dari beramal. Dan telah datang zamannya
sebagaimana yang dikabarkan oleh Nabi
shalallahu ‘alaihi wa sallam,
kita lihat para penceramah sangat banyak bahkan diadakan kursus-kursus
untuk menjadi khathib Jumat dalam waktu yang singkat dan menjadi sebab
banyaknya penceramah, sementara ulamanya sangat sedikit.
Maka di zaman ini menuntut ilmu lebih baik dari beramal, namun bukan
maksudnya ilmu tersebut tidak diamalkan karena ini akan menjadi bumerang
untuk pemiliknya pada hari kiamat. Dengan ilmu kita dapat mengetahui
suatu fitnah yang datang, kemudian mengambil sikap yang benar sesuai
dengan tuntunan Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga kita pun selamat dan tidak menjadi penyebab semakin tersulutnya api fitnah.
Kita yang hidup di zaman ini seringkali mendapatkan
peristiwa-peristiwa memilukan yang menimpa umat Islam yang membuat hati
kita panas bercampur geram. Keadaan ini merupakan cobaan untuk para
penuntut ilmu untuk segera menilai dengan keilmuan yang dalam bukan
sebatas semangat yang membabi buta, agar tidak menimbulkan madharat yang
lebih besar untuk Islam dan kaum muslimin.
Seorang penuntut ilmu tidak mudah tertipu dengan berita dan kabar
yang disiarkan dalam sebuah media, lebih-lebih media-media di zaman ini
telah dikuasai kaum
kuffar terutama Yahudi -semoga Allah menghancurkan mereka-.
Orang yang membaca kisah terbunuhnya Utsman bin Affan akan mengambil
pelajaran berharga darinya, bagaimana sang Yahudi yang bernama Abdullah
bin Saba pura-pura masuk Islam dan melakukan konspirasi besar untuk
menghancurkan khilafah Utsman dengan memprovokasi masa dan membakar
perasaan mereka melalui kabar-kabar yang dipalsukan. Ini menjadikan kita
lebih berhati-hati dan tidak gegabah dalam menerima berita dari media.
Manfaat Menuntut Ilmu
Dengan menuntut ilmu, seorang hamba memperhatikan berbagai macam sisi
kemashlahatan dan kemadharatan yang akan timbul dan membaca situasi dan
kondisi kaum muslimin di zaman ini sebelum mengambil sikap, cobalah
renungkan apa yang dikatakan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
rahimahullah ketika beliau membahas tentang hikmah adanya ayat
makkiyah dan
madaniyah:
“Ayat-ayat
makkiyah itu berlaku untuk setiap mukmin yang
lemah untuk menolong Allah dan Rasul-Nya sesuai dengan kemampuan yang
ada yaitu hati dan yang semisalnya dan ayat-ayat yang menyuruh
meremehkan kaum
mu’ahadin (orang-orang kafir) berlaku pada
setiap mukmin yang kuat dan mempunyai kemampuan untuk membela Allah dan
Rasul-Nya dengan tangan dan lisannya. Dengan ayat-ayat seperti ini kaum
muslimin mempraktikannya di akhir usia Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wa sallam dan di zaman khulafa rasyidin.
Barang siapa yang berada di suatu negeri atau waktu ia menjadi lemah,
hendaklah ia mempraktikan ayat-ayat sabar dan memaafkan orang yang
mengganggu Allah dan Rasul-Nya dari kalangan ahli kitab dan kaum
musyrikin. Adapun kaum muslimin yang mempunyai kekuatan, hendaknya
mereka mempraktikan ayat-ayat yang memerintahkan untuk memerangi para
imam kekafiran yang ingin merusak agama, dan memerangi ahli kitab sampai
mereka memberikan jizyah dalam keadaan mereka terhina.”(
Ash Shorimul Maslu,l Hal. 221).
[1]
Syaikh Muhamad bin Jamil Zainu
hafizhahullah berkata, “Yang menguatkan pendapat Syaikhul Islam adalah firman Allah
Ta’ala,
قُل لِّلَّذِينَ ءَامَنُوا يَغْفِرُوا لِلَّذِينَ لاَيَرْجُونَ أّيَّامَ اللهِ لِيَجْزِيَ قَوْمًا بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
“
Katakanlah kepada orang-orang yang beriman hendaklah mereka
memaafkan orang-orang yang tidak takut akan hari-hari Allah, karena Dia
akan membalas suatu kaum terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al Jatsiyah: 14).
Allah menyuruh kaum muslimin yang lemah itu agar memaafkan
orang-orang kafir yang menyakiti mereka dan jangan membalasnya dengan
perbuatan yang semisal dan ini menunjukkan bahwa memberi maaf dalam
keadaan kaum muslimin lemah adalah disyariatkan.
Andaikan jamaah-jamaah Islam di zaman ini mempraktikan apa yang ada
di dalam Alquran yang menyeru kepada sikap sabar dan memaafkan sampai
Allah mendatangkan pertolongannya.”
[2]
Dengan menuntut ilmu seorang hamba berusaha memahami hakikat sesuatu
sebelum memberikan vonis kepadanya atau kepada jamaah tertentu,
mengamalkan sebuah kaidah : “
Al Hukmu ‘ala syain far’un ‘an tashowwurihi“. Artinya menghukumi sesuatu itu mengikuti pemahaman tentang hakikat sesuatu tersebut.
Contohnya apabila kita ingin menghukumi suatu jamaah, apakah ia sesat
atau tidak, maka kita wajib mengetahui hakikat jamaah tersebut;
bagaimana aqidah dan manhajnya? bagaimana pokok-pokok pemikirannya? Agar
kita tidak menuduh suatu kaum dengan kebodohan yang akibatnya akan
menimbulkan penyesalan.
Demikian pula apabila kita ingin mengetahui hukum jual beli
murabahah misalnya, maka kewajiban kita adalah memahami dahulu hakikat
murabahah
secara jelas bagaimana tata caranya, kemudian melihat dalil-dalil
syariat dan fatawa para ulama, sehingga kita tidak salah dalam memvonis
sesuatu.
Dengan menuntut ilmu, seorang hamba dapat mengetahui kapan dan kepada
siapa ia berbicara, karena tidak semua ilmu yang kita ketahui dapat
kita sampaikan kepada setiap orang, Ibnu Mas’ud
radhiallahu ‘anhu
berkata, “Tidaklah engkau mengajak bicara suatu kaum dengan sesuatu
yang tidak dipahami oleh akal mereka kecuali akan menjadi fitnah untuk
sebagian mereka.”
[3]
Abu Hurairah berkata, “Aku hafal dari Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wa sallam dua bejana, yang satu bejana aku sampaikan dan yang satu lagi apabila aku sampaikan maka tenggorokanku akan diputus.”
[4]
Yang disembunyikan oleh Abu Hurairah adalah hadis-hadis mengenai
fitnah dan hadis-hadis tentang Bani Umayah, sengaja Abu Hurairah tidak
sampaikan agar tidak menimbulkan fitnah dan perpecahan karena
orang-orang pada waktu itu kembali bersatu di bawah kepemimpinan
Mu’awiyah bin Abu Sufyan.
Menyembunyikan ilmu bila dikhawatirkan timbulnya madharat yang lebih
besar adalah perkara yang diidzinkan oleh syariat. Sebagaimana di
sebutkan dalam hadis Mu’adz bin Jabal bahwa Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya,
يَا مُعَاذُ تَدْرِي مَا حَقُّ اللَّهِ عَلَى الْعِبَادِ
وَمَا حَقُّ الْعِبَادِ عَلَى اللَّهِ قَالَ قُلْتُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ
أَعْلَمُ قَالَ فَإِنَّ حَقَّ اللَّهِ عَلَى الْعِبَادِ أَنْ يَعْبُدُوا
اللَّهَ وَلَا يُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَحَقُّ الْعِبَادِ عَلَى اللَّهِ
عَزَّ وَجَلَّ أَنْ لَا يُعَذِّبَ مَنْ لَا يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا قَالَ
قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلَا أُبَشِّرُ النَّاسَ قَالَ لَا
تُبَشِّرْهُمْ فَيَتَّكِلُوا
“Wahai Mu’adz, tahukah engkau apa hak Allah atas hamba-Nya dan apa
hak hamba atas Allah? Aku berkata, “Allah dan Rasul-Nya lebih
mengetahui.” Beliau bersabda, “Hak Allah atas hamba adalah hendaklah
mereka menyembah Allah saja dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu
pun. Dan hak hamba atas Allah adalah bahwa Allah tidak akan mengadzab
orang yang tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun.”
Aku berkata, “Wahai Rasulullah, bolehkah aku memberi kabar gembira
(dengan hadis ini)?” Beliau bersabda, “Jangan, karena khawatir mereka
hanya bersandar dengan ini saja (tidak mau beramal).” (HR Bukhari dan
Muslim)
[5]
Nabi
shalallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengidzinkan Mu’adz
untuk mengabarkannya kepada orang lain karena khawatir akan menimbulkan
madharat yang lebih besar yaitu akan dipahami oleh orang-orang yang
bodoh dengan pemahaman yang salah yaitu cukup bagi seseorang tidak
mempersekutukan Allah dengan sesuatu pun dan meninggalkan beramal shalih
karena sebatas mengandalkan hadis ini saja. Berbeda jika madharat yang
timbul adalah cercaan dan makian manusia akibat kita menyampaikan
kebenaran, maka kita tetap diperintahkan menyampaikannya dan tidak perlu
takut dengan cercaan orang yang mencerca.
Penulis Ustadz Abu Yahya Badrusalam
Artikel www.cintasunnah.com