STAFILOKOKUS
Stafilokokus merupakan sel
gram positif berbentuk bulat biasanya tersusun dalam bentuk kluster yang tidak
teratur seperti anggur. Stafilokokus tumbuh dengan cepat pada beberapa tipe
media dan dengan aktif melakukan metabolisme, melakukan fermentasi karbohidrat
dan menghasilkan bermacam-macam pigmen dari warna putih hingga kuning gelap.
Beberapa merupakan anggota flora normal pada kulit dan selaput lendir manusia;
yang lain ada yang menyebabkan supurasi dan bahkan septikemia fatal. Stafilokokus
yang patogen sering menghemolisis darah, mengkoagulasi plasma dan menghasilkan
berbagai enzim ekstraseluler dan toksin. Bentuk keracunan makanan paling sering
disebabkan oleh enterotoksin stafilokokal yang stabil terhadap panas.
Stafilokokus cepat menjadi resisten terhadap beberapa antimikroba dan ini
merupakan masalah besar pada terapi.
Genus stafilokokus
sedikitnya memiliki 30 spesies. Tiga tipe stafilokokus yang berkaitan dengan
media adalah Staphylococcus aureus,
Staphylococcus epidermidis dan Staphylococcus
saprophyticus. Staphylococcus aureus
bersifat koagulase positif, yang membedakannya dari spesies lain. Staphylococcus aureus adalah patogen
utama pada manuasia. Hampir setiap orang pernah mengalami berbagai infeksi S. aureus selama hidupnya, dari
keracunan makanan yang berat atau infeksi kulit yang kecil, sampai infeksi yang
tidak bisa disembuhkan. Stafilokokus koagulase negatif merupakan flora normal
manusia dan kadang-kadang menyebabkan infeksi, seringkali hal ini berhubungan
dengan alat-alat yang ditanam, khususnya infeksi da pada pasien yang muda,
sangat tua dan yang mengalami penurunan daya tahan tubuh. Kira-kira 75% infeksi
disebabkan oleh stafilokokus koagulase negatif, biasanya S. Epidermidis. Infeksi yang disebabkan oleh Staphylococcus lugdenensis, Staphylococcus warneri, Staphylococcus
hominis dan spesien lain hanya sedikit dijumpai. Staphylococcus saprophyticus umumnya menyebabkan infeksi saluran
urin pada wanita muda. Spesies lain penting dalam kedokteran veeteriner.
Morfologi dan Indentifikasi
A.
Ciri Khas Organisme
Stafilokokus adalah sel yang
berbentuk bola dengan diameter 1 µm yang tersusun dalam bentuk kluster yang
tidak teratur (Gambar 14-1). Kokus tunggal, berpasangan, tetrad, dan berbentuk
rantai juga tampak dalam biakan cair. Stafilokokus bersifat nonmotil dan tidak
membentuk spora. Dibawah pengaruh obat seperti penisilin, stafilokokus
mengalami lisis.
Spesies mikrokokus
seringkali mirip stafilokokus. Mereka hidup bebas di lingkungan dan membentuk
kumpulan yang teratur terdiri atas empat atau delapan kokus. Koloninya berwarna
kuning, merah dan orange.
B.
Biakan
Stafilokokus tumbuh
dengan baik pada berbagai media bakteriologi dibawah suasana aerobik atau
mikroaerofilik. Tumbuh dengan cepat pada temperatur 37°C namun pembentukan
pigme yang terbaik adalah pada temperatur kamar (20 – 35 °C). Koloni pada media
yang padat berbentuk bulat, lembut, dan mengkilat. S.aureus biasanya membentuk koloni abu-abu hingga kuning emas.
Koloni S. Epidermis biasanya
membentuk berwarna abu-abu hingga putih terutama pada isolasi primer; beberapa
koloni menghasilkan pigmen hanya pada inkubasi yang diperpanjang. Tidak ada
pigmen yang dihaslkan secara anaerobik atau pada media cair. Berbagai macam
tingkat hemolisis dihasilkan secara anaerobik atau pada media cair. Berbagai
macam tingkat hemolisis dihasilkan oleh S.
aureus dan kadang-kadang oleh spesies yang lain. Spesies peptostreptokokus,
yang merupakan kokus anaerobik, morfologinya seringkali mirip stafilokokus.
C.
Karakteristik Pertumbuhan
Stafilokokus menghasilkan
katalase, yang membedakannya dengan steptokokkus. Stafilokokus memfermentasi karbohidrat
menghasilkan asam laktat dan tidak menghasilkan gas. Aktifitas proteolitik
bervariasi dari satu galur ke galur lain. Stafilokokus yang patogenik
menghasilkan berbagai produk ekstraseluler, seperti yang dibicarakan di bawah
ini.
Stafilokokus tahan terhadap
kondisi kering, panas (mereka bertahan pada temperatur 50°C selama 30 menit)
dan natrium klorida 9%, tetapi dihambat oleh bahan kimia tertentu seperti
heksaklorofen 3%.
Stafilokokus sensitif
terhadap beberapa obat antimikroba. Resistansinya dikelompokkan dalam beberapa
golongan :
1. Biasanya menghasilkan enzim beta latamase, yang berada di
bawah kontrol plasmid, dan membuat organisme resisten terhadap beberapa
penisilin (penisilin G, ampisilin, tikarsilin, pipersilin, dan obat-obat yang
sama). Plasmid ditransmisikan dengan transduksi dan kadang juga dengan
konjugasi.
2. Resisten terhadap nafsilin (dan terhadap merisilin dan
oksasilin) yang tidak tergantung pada produksi beta-laktamase. Gen mecA untuk
resistensi terhadap nafsilin terletak pada kromosom. Mekanisme resistensi
nafcillin berkaitan dengan kekurangan PBP (Penicilin
Binding Protein) tertentu dalam organisme.
3. Galur S.aureus yang
mempunyai tingkat kerentanan menengah terhadap vankomisin (Kadar hambat Minimum
4 – 8 mg/ml) telah diisolasi di Jepang, Amerika Serikat dan beberapa negara
lain dan ini sangat mendapat perhatian dari para klinisi. S.aureus pada umumnya diisolasi dari pasien yang menderita infeksi
kompleks yang mendapat terapi vankomisin jangka panjang. Sering terdapat
kegagalan terapi dengan vankomisin. Mekanisme resistensi berkaitan dengan
peningkatan sistesis dinding sel dan perubahan dalam dinding sel serta bukan
disebabkan oleh gen van seperti yang
ditemukan pada biasanya resisten terhadap nafsilin tetapi pada umumnya rentan
terhadap oxazolidinon dan terhadap quinupristin / dalfopristin.
4. Plasmid juga dapat membawa gen untuk resistensi terhadap
tetrasiklin, eritromisin, aminoglikosida dan obat-obat lainnya. Hanya pada
beberapa galur stafilokokus, hampir semua masih peka terhadap vankomisin.
5. Akibat sifat ‘toleran’ berdampak bahwa stafilokokus
dihambat oleh obat tetapi tidak dibunuh oleh obat tersebut, misalnya terdapat
perbedaan yang besar antara KHM (Kadar Hambat Minimal) dan KBM (Kadar Bunuh
Minimal) dari obat antimikroba. Pasien dengan endokarditis yang disebabkan oleh
S. aureus yang toleran dapat
mengalami perjalanan penyakit yang lama dibandingkan dengan pasien yang
mengalami endokarditis yang disebabkan oleh S.aureus yang sepenuhnya rentan
terhadap antimikroba. Toleransi suatu saat dapat dihubungkan dengan kurangnya
aktivasi enzim autolitik di dalam dinding sel.
D.
Variasi
Biakan stafilokokus
mengandung beberapa bakteri dengan karakter yang berbeda dalam sebagian besar
populasi, misalnya karakter koloni (ukuran koloni, pigmen dan hemolisis),
kompleksitas kerja ensim, resistensi obat dan dalam hal patogenisitas. In
vitro, ciri khas ini dipengaruhi oleh kondisi-kondisi pertumbuhan: Jika S. aureus yang resisten terhadap
nafsilin diinkubasi pada agar darah suhu 37°C, satu kali 107
organisme menjadi resisten terhadap nafsilin; jika diinkubasi pada suhu 30 °C
pada agar yang mengandung natrium klorida 2 – 5 %, satu dalam 103
organisme menjadi resisten terhadap nafsilin.
Struktur Antigen
Stafilokokus mengandung
antigen polisakarida dan protein seperti zat lain yang penting dalam struktur
dinding sel (Gambar 14-2). Peptidoglikan, suatu polimer polisakarida yang
mengandung subunit-subunit yang bergabung memberikan eksoskeleton yang kaku
dari dinding sel. Peptidoglikan dirusak oleh asam kuat atau paparan terhadap
lisozim. Ini penting dalam patogenesis infeksi: Infeksi akan merangsang
pembentukan interleukin-1 (pirogen endogen) dan antibodi opsonin oleh monosit;
dan ini dapat menjadi penarik kimiawi bagi lekosit polimorfonuklear, mempunyai
aktivitas seperti endotoksin dan mengaktivasi komplemen.
Asam teikoat, yang merupakan
polimer gliserol atau ribitol fosfat, diikat ke peptidoglikan dan dapat menjadi
antigenik. Antibodi asam anti teikoat yang dapat dideteksi melalui difusi gel
dapat ditemukan pada pasien dengan ensokarditis aktif yang disebabkan oleh S. aureus.
Protein A merupakan komponen
dinding sel kebanyakan galur S.aureus
yang bisa mengikat ke bagian Fc molekul IgG kecuali IgG3. Meskipun IgG terikat
pada protein A, namun fragmen Fab tetap bisa bebas berikatan dengan antigen
spesifik. Protein A telah menjadi reagen yang penting dalam imunologi dan
teknologi laboratorium diagnostik; contohnya protein A yang dilekati dengan
molekul IgG ter hadap antigen bakteri spesifik aka mengaglutinasi bakteri yang
mempunyai antigen tersebut (ko-aglutinasi).
Beberapa galur S.aureus mempunyai kapsul yang
menghambat fagositosis oleh lekosit polimorfonuklear kecuali jika terdapat
antibodi spesifik. Sebagian besar galur S.aureus
mempunyai koagulase atau faktor penggumpalan pada permukaan dinding sel;
ikatan koagulase secara non ensimatik pada fibrinogen, menyebabkan agregasi
pada bakteri.
Tes serologi kegunaannya
terbatas untuk stafilokokus.
Gambar 14-2.Struktur antigen stafilokokus (a) antigen spesies
(determinan antigenik adalah N-asetilglukosamin yang terikat dengan poliribitol
fosfat) (b) antigen multipel, beberapa tersebar secara luas.
Toksin dan Enzim
Stafilokokus dapat
menyebabkan penyakit berkat kemampuannya melakukan pembelahan dan menyebar luar
ke dalam jaringan dan melalui produksi beberapa bahan ekstraseluler. Beberapa
dari bahan tersebut adalah enzim; yang lain dapat berupa toksin, meskipun
fungsinya adalah sebagai enzim. Beberapa toksin berada di bawah kontrol genetik
plasmid; beberapa dibawah kontrol baik kromosom maupun ekstrakromosom; dan pada
yang lain mekanisme kontrol genetiknya belum ditemukan.
A.
Katalase
Stafilokokki
menghasilkan katalase, yang mengubah hidrogen peroksida menjadi air dan
oksigen. Tes katalase untuk membedakan stafilokokki positif dari streptokokki
negatif.
B.
Koagulase
S.aureus
menghasilkan koagulase, protein menyerupai enzim yang mampu menggumpalkan
plasma yang ditambah dengan oksalat atau sitrat dengan adanya suatu faktor yang
terdapat dalam serum. Faktor serum bereaksi dengan koagulase untuk membentuk
esterase dan aktivitas penggumpalan, dengan cara yang sama ini untuk
mengaktivasi protrombin menjadi trombin. Cara kerja koagulase adalah dalam
lingkup kaskade penggumpalan plasma normal. Koagulase dapat membentuk fibrin
pada permukaan stafilokokus, ini bisa mengubah ingestinya oleh sel fagositik
atau pengrusakannya dalam sel fagosit. Produksi koagulase sinonim dengan invasi
potensial patogenik.
C.
Enzim Lain
Enzim lain yang dihasilkan
oleh stafilokokus antara lain hyaluronidase, atau faktor penyebara;
stafilokinase juga bekerja sebagai fibrinolisis tapi lebih lambat daripada
sstreptokinase; yang lain proteinase; lipase dan beta-lactamase.
D.
Eksotoksin
Ini meliputi beberapa toksin
yang bersifat letal jika disuntikkan pada binatang, menyebabkan nekrosis pada
kulit, dan berisi larutan hemolisis yang dapat dipisahkan dengan eletroferesis.
Alfatoksin (hemolisin) adalah protein heterogen yang dapat melisiskan eritrosit
dan merusak platelet serta dimungkinkan sama dengan faktor letal dan faktor
dermonekrotik dari eksotoksin. Alfatoksin mempunyai aksi yang sangat kuat
terhadap otot polos vaskuler. Beta toksin menurunkan kadar sfingomyelin dan
toksik pada beberapa jenis sel, termasuk sel darah merah manusia. Toksin ini
dan toksin gamma serta delta secara antigenik jelas berbeda dan tidak mempunyai
kaitan dengan lisin streptokokus.
E.
Lekosidin
Toksin S. aureus ini dapat membunuh sel darah putih pada berbagai
binatang. Peran toksin dalam patogenesis tidak jelas, karena stafilokokus yang
patogenik tidak dapat membunuh sel darah putih dan dapat difagositosis
seefektif seperti yang nonpatogenik. Namun mereka mampu untuk melakukan
multiplikasi intraseluler, dimana organisme nonpatogenik cenderung untuk mati
di dalam sel.
F.
Toksin Eksfoliatif
Toksin S.aureus ini termasuk sedikitnya dua protein yang menghasilkan
deskuamasi generalisata pada Staphylococcal
Scalded Skin Syndrome. Antibodi spesifik melindungi terhadap aksi
eksfoliatif dari toksin.
G.
Toksin Sindroma syok Toksik (Toxic Shock Syndrome Toxin)
Sebagian
besar galur S.aureus diisolasi dari
pasien sindroma syok toksik yang menghasilkan racun yang dinamakan Toxic Shock Syndrome Toxin – 1(TSST-1),
yang secara struktural sama dengan, enterotoksin B dan C. TSST-1 merupakan
prototip superantigen (lihat Bab 8) yang mendukung manifestasi sindroma syok
toksik. Toksin menyebabkan demam syok, yang mengenai banyak sistem, termasuk
ruam kulit deskuamatif. Gen untuk TSST-1 ditemukan sekitar 20% dari S.aureus yang diisolasi.
H.
Enterotoksin
Ada sedikitnya enam (A-F)
toksin larut yang dihasilkan oleh hampir 50% galur S.aureus. seperti TSST-1, enterotoksin adalah superantigen yang
berikatan dengan molekul MHC kelas II, menimbulkan stimulasi sel T.
Enterotoksin stabil terhadap panas (mereka bertahan pada air mendidih selama 30
menit) dan resisten terhadap aksi enzim usus. Penyebab penting pada keracunan
makanan, enterotoksin dihasilkan ketika S.aureus
tumbuh pada makanan yang mengandung karbohidrat dan protein. Gen untuk
enterotoksin terdapat dalam kromosom, tapi plasmid dapat membawa protein yang
mengatur produksi toksin. Ingesti 25 mg enterotoksin B pada manusia atau kera
menyebabkan muntah dan diare. Pengaruh emrik enterotoksin menyebabkan stimulasi
sistem saraf pusat (pusat muntah) setelah aksi toksin pada reseptor saraf dalam
usus. Enterotoksin dapat diukur melalui tes presipitasi (difusi gel). Domain
molekul enterotoksin yang berbeda bertanggung jawab terhadap sindroma syok
toksik dan keracunan makanan.
Patogenesis
Stafilokokus khususnya S.epidermidis, adalah anggota flora
normal pada kulit manusia, saluran respirasi dan gastrointestinal. Pengidap
(carrier) S.aureus pada nasal adalah
sebanyak 40 – 50% dari populasi. Stafilokokus juga dtemukan pada pakaian,
sprei, dan benda lain di lingkungan manusia.
Kemampuan patogenik dari
galur S.aureus adalah pengaruh
gabungan antara faktor ekstraseluler dan toksin bersama dengan sifat daya sebar
invasif. Pada satu sisi semata-mata diakibatkan oleh ingesti enterotoksin; pada
sisi lain adalah bakterimia dan penyebaran abses pada berbagai organ. Peranan berbagai
bahan ekstraseluler pada patogenesis berasal dari sifat masing-masing bahan
tersebut.
S.aureus
yang patogenik dan yang bersifat invasif
menghasilkan koagulase dan cenderung untuk menghasilkan pigemn kuning dan
menjadi hemolitik. S.aureus yang
nonpatogenik dan tidak bersifat invasif seperti S.epidermidis adalah koagulase negatif dan cenderung menjadi
nonhemolitik. Organisme semacam itu jarang menyebabkan supurasi tapi dapat
menginfeksi protesa di bidang ortopedi atau kardiovaskular atau menyebabkan penyakit
pada orang yang mengalami penurunan daya tahan tubuh. S.saprophyticus khas tidak berpigmen, resisten terhadap novobiosin
dan nonhemolitik; ini menyebabkan infeksi traktus uninarius pada wanita muda.
Pengaturan Faktor
Resistensi
Protein permukaan S.aureus, seperti protein A dan adhesin,
disintesis selama fase pertumbuhan eksponensial. Protein yang disekresi,
sebagaimana toksin, disintesis selama fase stasioner. Fase pertumbuhan ini,
juga menunjukkan tahap awal infeksi dan fase pada saat terjadi penyebaran
infeksi ke jaringan yang berdekatan. Gen agr
(accesssory global regulan)
mempunyai dua operon utama. Satu mengkode molekul RNA unik, RNA III. Molekul
ini menginduksi regulasi ekspresi protein sekretorik dan menghambat ekspresi
protein permukaan. Berlawanan arah dengan RNA III, terdapat promoter yang bertanggung jawab untuk
ekspresi RNA II dari operon empat gen, agrBDCA.
Produk RNA II dibutuhkan untuk ekspresi RNA III secara optimal. Gen agrB dan agrD juga membentuk peptida kecil yang memberi sinyal yang
mengaktivasi ekspresi RNA III dalam sel S.aureus.
selain itu, Staphylococcus accessory
regulator protein, yang dikode oleh sarA,
terikat ke regio promoter dari lokus agr,
meningkatkan kadar RNA II dan RNA III.
Patologi
Prototipe lesi stafilokokus
adalah furunkel atau abses lokal lainnya. Kelompok S.aureus yang menetap di folikel rambut menyebabkan nekrosis
jaringan (faktor dermonekrotik). Koagulase dihasilkan dan mengkoagulasi fibrin
di sekitar lesi dan di dalam limfatik, membentuk dinding yang menghambat proses
penyebaran dan diperkuat lagi oleh akumulasi sel inflamasi dan kemudian
jaringan fibrosa. Di dalam pusat lesi, terjadi likuefaksi dan nekrosis jaringan
(dipacu oleh hipersensitivitas tipe lambat) pada bagian abses yang lemah.
Drainase cairan pusat jaringan nekrotik diikuti dengan pengisian secara kavitas
oleh jaringan granulasi dan akhirnya terjadilan penyembuhan.
Supurasi fokal (abses)
adalah khas untuk infeksi stafilokokus. Dari riap fokus manapun, organisme
dapat menyebar melalui aliran limfatik dan aliran darah ke bagian lain dalam
tubuh. Supurasi yang terjadi dalam pembuluh darha vena, yang berhubungan dengan
trombosis, merupakan gambaran umum proses penyebaran tesebut. Pada
osteomielitis, fokus primer pertumbuhan S.aureus
khas adalah di pembuluh darah tepi dari metafisis tulang panjang, mengakibatkan
neekrosis tulang dan supurasi kroonik. S.aureus
dapat menyebabkan pneumonia, meningitis, empiema, endokarditis atau sepsis
dengan supurasi di tiap organ. Stafilokokus yang mempunyai kemampuan invasi
yang rendah, terlibat dalam banyak infeksi kulit (misalnya akne, pioderma, atau
impetigo0. Kokus anaerob (Peptostreptococcus) berperan dalam infeksi anaerob
gabungan.
Stafilokokus juga
menyebabkan penyakit melalui produksi toksin, tanpa infeksi invasif yang nyata.
Eksfoliasi bulosa, sindroma kulit terkelupas, disebabkan oleh toksin
eksfoliatif. Sindroma syok toksik berhubungan dengan toksin sindorma syok
toksik-1 (TSST-1).
Gambaran Klinis
Infeksi stafilokokus lokal
tampak sebagai jerawat, infeksi folikel rambut atau abses. Terdapat reaksi
inflamasi yang kuat, terlokalisir dan nyeri mengalami supurasi sentral dan
sembuh dengan cepat jika puss dikeluarkan (didrainase). Dinding fibrin dan sel
sekitar bagian tengah abses cenderung mencegha penyebaran organisme dan
hendeknya tidak dirusak oleh manipulasi atau trauma.
Infeksi S.aureus dapat juga berasal dari kontaminasi langsung dari luka,
misalnya pasca operasi infeksi stafilokokus atau infeksi yang menyertai trauma
(osteomielitis kronik setelah patah tulang terbuka, meningitis yang menyertai
patah tulang tengkorak).
Jika S.aureus menyebar dan terjadi bakterimia, maka bisa terjadi
endokarditis, asteomielitis hematogenus akut, meningitis atau infeksi sistemik.
Lokalisasi sekunder dalam organ atau sistem disertai simtom dan tanda pada
ddisfungsi organ dan supurasi fokal.
Keracunan makanan
menyebabkan enterotoksin stafilokokal yang ditandai dengan periode inkubasi
yang pendek (1 – 8 jam); mual hebat, muntah dan diare; dan cepat sembuh. Tidak
ada demam.
Sindroma syok toksik
dimanifestasikan oleh onset dan demam tinggi yang terjadi tiba-tiba, muntah,
diare, mialgia, ruam bentuk skarlet (scarlatiniform
rash) dan hipotensi dengan gagal jantung dan gagal ginjal pada kasus yang
sangat berat. Penyakit ini sering terjadi dalam lima hari, pada menstruasi pada
wanita muda yang menggunakan tampoan, tetapi juga terjadi pada anak-anak atau
laki-laki yang mengalami infeksi luka akibat stafilokokus. S.aureus dapat ditemukan di vagina, pada tampon, pada luka atau
infeksi yang terlokalisir atau pada tenggorokan tapi untuknya tidak pernah di
aliran darah.
Uji Laboratorium
Diagnostik
A.
Spesimen
Usapan permukaan,
pus, darah, aspirat trakea atau cairan spinal, dipilih bergantung pada tempat
infeksi.
B.
Hapusan
Stafilokokus yang
khas dilihat pada apusan yang dicat dari pus atau sputum, hapusan ini tidak
bisa membedakan oerganisme saprofitik (S.epidermidis)
dari organisme patogen (S.aureus).
C.
Biakan
Spesimen yang ditanam
pada lempeng agar darah menunjukkan bahwa yang khas dalam waktu 18 jam pada
suhu 37°C tetapi hemolisis dan produksi pigmen mungkin tidak terjadi sampai
beberapa hari kemudian, dan optimal pada suhu kamar. S.aureus dan bukan stafilokokus yang lain memfermentasikan manitol.
Spesimen yang dikontaminasi dengan flora campuran dapat dibiakkan pada media
yang mengandung NaCl 7,5%; garam tersebut menghambat sebagian besar flora
normal lainnya tapi tidak menghambat S.aureus.
agar garam manitol (Mannitol Salt Agar)
digunakan untuk menyaring S.aureus
yang ada di hidung.
D.
Tes Katalase
Tetes laturan
hidrogen peroksida ditempatkan pada gelas objek dan sejumlah kecil bakteri yang
tumbuh diletakkan dalam larutan tersebut, pembentukan gelembung (pelepasan
oksigen) menunjukkan bahwa tes positif. Tes ini dapat dilakukan dengan cara
menuangkan larutan hidrogen peroksida pada biakan bakteri yang padat pada agar
miring dan diamati munculnya gelembung.
E.
Tes Koagulase
Plasma kelinci atau
manusia yang ditambah sitrat dicairkan dalam perbandingan 1 : 5 dicampur dengan
volume yang sama dari biakan cair atau dari koloni, pada agar dan diinkubasi
pada suhu 37°C. Satu tabung plasma dicampur dengan media cair yang steril
dipakai sebagai kontrol. Jika gumpalan terjadi dalam waktu 1 – 4 jam berarti
tes positif.
Stafilokokus
koagulase positif dianggap patogen bagi manusia namun demikian stafilokokus
koagulase positif dari anjing (Staphylococcus
intermedius) dan dolpin (Staphylococcus
delphini) jarang menyebabkan penyakit pada manusia. Infeksi alat prostetik
dapat disebabkan oleh organisme kelompok S.
Epidermidis koagulase negatif.
F.
Tes Kepekaan
Uji kepekaan
mikrodilusi atau difusi cakram hendaknya dilakukan secara rutin pada isolat
stafilokokus dari infeksi yang secara klinis bermakna. Resistensi terhadap
penisilin G dapat diramalkan dengan uji β-laktamase. Resistensi terhadap
nafsilin (dan oksasilin serta metisilin) terjadi pada sekitar 20% isolat S.aureus dan hampir 75% isolat S.epidermidis. Resistensi terhadap
nafsilin berhubungan dengan adanya gen
mecA yaitu gen yang mengkode PBP tidak dipengaruhi oleh obat tersebut. Gen
tersebut dapat dideteksi dengan menggunakan uji PCR (Polymerase Chain Reaction) tetapi ini tidak penting sebab
stafilokokus yang tumbuh pada agar Mueller-Hinton yang mengandung NaCl 4% dan 6
µg/mL oksasilin secara khas adalah positif mecA
dan resisten terhadap nafsilin.
G.
Uji Serologis dan Penentuan Tipe
Antibodi terhadap asam
teikoat dapat dideteksi pada infeksi yang lama dan dalam (misalnya endokarditis
stafilokokus). Uji serologis ini sedikit bermanfaat dalam praktek. Pola
kepekaan terhadap antibiotika bermanfaat dalam melacak infeksi S.aureus dan dalam menentukan jika
bakteremia disebabkan oleh S.epidermidis
multipel, apakah disebabkan oleh galur yang sama.
Teknik pemetaan molekuler
telah digunakan untuk menelaah penyebaran klon S.aureus yang menyebabkan penyakit epidemi.
Pengobatan
Sebagian besar orang
mempunyai stafilokokus pada kulit dan dalam hidung atau tenggorokan bahkan jika
kulit dibersihkan dari stafilokokus (misalnya pada eksema) infeksi ulang oleh
droplet akan terjadi dengan cepat. Karena organisme patogen biasanya menyebar
(misalnya furunkel) ke tempat lain dari kulit melalui jari dan pakaian,
antiseptik lokal penting untuk mengendalikan furunkulosis kambuhan.
Infeksi kulit multipel
serius (akne, furunkulosis) terjadi sebagian besar pada usia remaja. Infeksi
kulit yang mirip terjadi pada pasien yang menerima kortikosteroid jangka lama.
Pada akne, lipase stafilokokus dan corynebacteria membebaskan asam lemak dari
lipid sehingga menyebabkan iritasi jaringan. Tetrasiklin digunakan untuk terapi
jangka lama.
Abses dan lesi supuratif
tertutup lainnya diterapi dengan drainase, dan yang penting, terapi
antimikroba. Banyak obat antimikroba mempunyai beberapa efek melawan
stafilokokus in vitro. Namun demikian sulit untuk eradikasi stafilokokus
patogen dari orang yang terinfeksi, sebab organisme dengan cepat resisten
terhadap banyak obat antimikroba dan obat tidak dapat bekerja pada bagian
nekrotik pusat dari lesi supuratif. Juga sulit untuk eradikasi keadaan carier S.aureus.
Osteomielitis hematogen akut
berespon baik terhadap obat antimikroba. Pada osteomielitis kronik dan
berulang, drainase bedah dan pengambilan tulang yang mati diikuti dengan
pemberian obat yang tepat, tetapi sulit eradikasi stafilokokus yang
menginfeksi. Oksigen hiperbarik dan pemakaian penutup miokutan vaskularisasi
bisa membantu penyembuhan pada osteomielitik kronik.
Bakterimia, endokarditis,
pneumonia dan infeksi berat lainnya oleh karena S.aureus memerlukan terapi penisilin tahan β-laktamase intra vena
jangka panjang. Vankomisin sering digunakan sebagai pengganti pada stafilokokus
yang resisten terhadap nafsilin. Jika infeksi disebabkan oleh S.aureus yang tidak menghasilkan β
laktamase, penisilin G merupakan obat pilihan tetapi hanya persentase kecil
strain S.aureus yang peka terhadap
penisilin G.
Infeksi S.epidermidis sulit disembuhkan sebab kuma tumbuh pada alat
prostese dimana bakteri dapat menghindar dari sirkulasi sehingga terhindar pula
dari obat antimikroba. S.epidermidis lebih
sering resisten terhadap obat antimikroba daripada S.aureus, hampir 75% strain S.epidermidis
resisten terhadap nafsilin.
Karena banyak galur yang
resisten obat, maka tiap isolat stafilokokus harus diuji kepekaan antimikrobianya
untuk membantu memilih obat sistemik. Resisten terhadap grup eritromisin
terjadi sangat cepat sehingga jangan digunakan secara tunggal untuk mengobati
infeksi kronik. Resistensi obat (terhadap penisilin, tetrasiklin,
aminoglikosida, eritromisin, dll) ditentukan oleh plasmid yang ditransmisikan
oleh stafilokokki dengan transduksi dan juga dengan konjugasi.
Galur S.aureus yang resisten terhadap penisilin dari infeksi klinis
selalu menghasilkan penisilinase. Hal ini ditemukan pada sekitar 90% isolat S.aureus dalam komunitas di USA. Galur
ini seringkali peka terhadap penisilin tahan β-laktamase, sepalosporin, atau
vankomisin. Resistensi nafsilin tidak tergantung pada produksi β-laktamase, dan
insidensi klinisnya bervariasi pada negara yang berbeda dan pada waktu yang
lain. Pembatasan pemilihan obat antimikroba yang tahhan terhadap β-laktamase
bukan merupakan satu-satunya penentu untuk tidak memakai obat tersebut;
misalnya, di Denmark, S.aureus yang
resisten terhadap nafsilin terdiri atas 40% isolat pada tahun 1970 dan hanya
10% tahun 1980, tidak ada perubahan yang tercatat dalam pemakaian nafsilin atau
obat yang mirip. Di USA, S.aureus
yang resisten terhadap nafsilin berjumlah hanya 0,1% isolat pada tahun 1970
tapi pada tahun 1990 mencapai 20 – 30% isolat dari infeksi di rumah sakit.
Untungnya, isolat S.aureus yang
memiliki tingkat kerentanan sedang terhadap vankomisin relatif tidak umum, tapi
keberadaannya masih merupakan perhatian utama.
Epidemiologi dan
Pengendalian
Stafilokokus merupakan
parasit manusia yang ada dimana-mana. Sumber infeksi utama adalah tumpukan
bakteri pada lesi manusia, benda-benda yang terkontaminasi lesi tersebut, dan
saluran respirasi manusia serta kulit. Penyebaran infeksi melalui kontak telah
dianggap sebagai faktor yang penting di rumah sakit, dimana populasi luas dari
staf dan pasien membawa stafilokokus yang resisten antibiotika pada hidung atau
kulit mereka. Meskipun kebersihan, higienis, dan penatalaksanaan lesi secara
aseptik dapat mengendalikan penyebarluasan stafilokokus dari pembawa. Aerosol
(misalnya glikol) dan radiasi ultraviolet di udara mempunyai pengaruh yang
sedikit.
Di rumah sakit yang
merupakan daerah dengan resiko infeksi stafilokokus paling tinggi adalah ruang
perawatan bayi, unit perawatan intensif, ruang operasi, dan bangsal kemoterapi
kanker. Masuknya S.aureus patogem
epidemik ke daerah tersebut dapat mengakibatkan terjadinya penyakit klinis yang
serius. Pegawai dengan lesi aktif yang mengandung S.aureus dan seorang pengidap (carrier) harus dikeluarkan dari
daerah tersebut. Pada beberapa individu pemberian antiseptik topikal (misalnya
klorheksidin atau krim basitrasin) pada tempat kolonisasi bakteri pada
pengidap, misalnya di hidung atau perineum dapat mengurangi penyebaran organisme
yang berbahaya tersebut. Rifampin yang digabungkan dengan obat anti
stafilokokus oral klas II kadang-kadang memberikan efek supresi jangka panjang
dan penyembuhan dari pengidap di hidung (nasal
carriage); bentuk terapi ini biasanya ditujukan untuk masalah utama
pengidap stafilokokus, sebab stafilokokus dapat cepat menjadi resisten terhadap
rifampin. Antiseptik seperti heksaklorofen digunakan pada kulit bayi lahir
untuk mengurangi kolonisasi oleh stafilokokus tetapi karena toksisitasnya
menyebabkan penggunaannya terbatas.
REFERENSI
Lowy FD. Staphylococcus
aureus infections. N Engl J Med, 1998; 339: 520.
STREPTOCOCCUS
Streptococcus merupakan
bakteri gram-positif berbentuk bulat, yang mempunyai karakteristik dapat
membentuk pasangan atau rantai selama
pertumbuhannya. Bakteri ini tersebar di alam. Beberapa diantaranya
merupakan anggota flora normal pada manusia; sedang streptococcus yang lain
berhubungan dengan penyakit pada manusia dapat berupa infeksi oleh
streptococcus dan sebagian yang lain dapat menimbulkan sensitisasi akibat kuman
tersebut. Streptococcus memiliki berbagai macam kandungan bahan ekstraseluler
dan enzim.
Streptococcus termasuk
kelompok bakteri yang heterogen, dan tidak ada satu sistem pun yang mampu untuk
mengklasifikasikannya. Ada dua puluh jenis, termasuk Streptococcus pyogenes (group A), Streptococcus agalactiae (group B) dan jenis Enterococcus (group D), dapat dicirikan dengan berbagai tampilannya
yang bervariasi: dari karakteristik koloni pertumbuhan, pola hemolisis pada
media agar darah (hemolisis α, hemolisis β, atau tanpa hemolisis), komposisi
antigen pada substansi dinding sel dan reaksi biokimia. Jenis Streptococcus pneumonia (pneumococcus)
lebih lanjut diklasifikasikan berdasarkan komposisi antigen polisakarida pada
kapsul.
Morfologi dan
Identifikasi
A.
Ciri-ciri Organisme
Coccus tunggal mempunyai
bentuk seperti bola atau bulat dan tersusun seperti rantai (Gambar 15-1).
Coccus ini membelah diri dengan arah memanjang pada sumbu dari rangkaian
tersebut. Bagian dari rangkaian tadi seringkali tamak diplococcus dan
kadang-kadang terlihat seperti batang. Panjang dari rangkaian ini sangat
beragam dan disebabkan oleh faktor lingkungan. Streptococcus adalah gram
positif, pada umur biakan tertentu dan bila bakteri mati, mereka akan
kehilangan sifat gram-positif yang dimiliki dan kemudian berubah menjadi
gram-negatif; hal ini dapat terjadi setelah dilakukan inkubasi selama semalam.
Beberapa streptococcus
memiliki kapsul berupa polisakarida yang dapat dibedakan dengan pneumococcus.
Sebagian besar dari group A, B, dan C (Tabel 15-1) memiliki kapsul yang terdiri
dari asam hyaluronat. Kapsul ini mudah diamati pada saat perbenihan awal.
Kapsul tersebut dapat menghalangi proses fagositosis. Dinding sel pada
streptococcus terdiri dari protein (antigen M, T, R), karbohidrat (kelompok
spesifik) dan peptidoglikan (Gambar 15-2). Pili yang seperti rambut terdapat
dalam kapsul streptococcus group A. Pili tersebut berisi sebagian dari protein
M dan dilindungi oleh asam lipoteichoic. Hal ini penting untuk perlekatan
streptococcus pad sel epithelial.
B.
Kultur
Kebanyakan
streptococcus dapat tumbuh dalam media yang padat dan tampak sebagai koloni
discoid, biasanya berdiameter 1 – 2 mm. Strain yang menghasilkan bahan berupa
kapsul seringkali berkembang ke arah koloni mukoid. Koloni matt dan koloni glossy
pada kelompok strain A akan diterangkan lebih lanjut di bawah ini.
Peptostreptococcus merupakan bakteri obligat anaerob.
C.
Karakteristik Pertumbuhan
Energi secara prinsip
didapat dari pemanfaatan gula. Pertumbuhan streptococcus cenderung lambat pada
media padat atau pada media cair kecuali jika diperkaya dengan cairan darah
atau cairan jaringan. Kebutuhan akan makanan sangat beragam diantara
jenis-jenis yang berbeda. Bakteri yang patogen pada manusia adalah yang paling
sulit karena memerlukan berbagai faktor pertumbuhan. Pertumbuhan dan proses
hemolisis akan dibantu dengan mengeramkan bakteri dalam suasana CO2
10%.
Sebagian besar streptococcus
hemolitik patogen tumbuh dengan baik pada suhu 37°C, sedang bakteri
enterococcus juga dapat tumbuh baik dalam suhu antara 15°C sampai dengan 45°C.
Bakteri enterococcus juga dapat tumbuh dalam larutan natrium klorida pekat
(6,5%), dalam 0,1% metilen biru, dan dalam agar empedu (bile esculin-agar). Sebagian besar bakteri streptococcus bersifat
fakultatif anaerob.
D.
Variasi
Varian dari strain
streptococcus yang sama, kemungkinan memperlihatkan bentuk koloni yang berbeda.
Hal ini khususnya terjadi di kelompok A, yaitu pada koloni matt dan glossy yang
selalu berubah. Organisme yang terdiri dari koloni matt menghasilkan banyak protein M. Organisme tersebut lebih cenderung
virulen dan relatif tidak peka terhadap fagositosis yang disebabkan leukosit
manusia. Sedang koloni glossy lebih
cenderung memproduksi sedikit protein M dan nonvirulen.
Struktur Antigen
Streptococcus hemolitik dapat
dibagi dalam kelompok serologi (A-H, K-U) dan grup yang lain dapat dibagi lagi
menurut jenisnya. Beberapa substansi antigen dapat ditemukan dalam :
1.
Kelompok
Antigen Dinding Sel Spesifik (Group-Spesific
Cell Wall Antigen)
Karbohidrat ini terdapat dalam
dinding sel streptococcus dan dipakai sebagai dasar pengelompokkan serologi (Lancefield group A-H, K-U). Ekstrak
dari group antigen spesifik yang digunakan untuk mengelompokkan bakteri
streptococcus, kemungkinan dilakukan dengan cara ekstraksi kultur memakai asam
hidroklorik panas, asam nitrous, atau formamide; secara lisis enzim pada sel
steptococcus (misalnya dengan pepsin atau tripsin) atau dengan memakai autoklaf
pada suspensi sel dengan tekanan sekitar 15 1b selama 15 menit. Spesifikasi
serologi untuk kelompok karbohidrat spesifik ditentukan oleh larutan gula
amino. Untuk group A, dilakukan oleh rhomnose-N-acetylglucosamine;
untuk group B, rhomnoseglucosaminee
polysaccaride, untuk Group C, rhamnose-N-acetylgalactosamine,
untuk grup D, glyserol teichoic acid
mengandung d-alanine dan glukosa,
untuk group F, glucopyranosyl-N-acetylgalactosamine.
2.
Protein M
Substansi ini merupakan
faktor virulen utama pada S.pyogenes grup
A. Protein M muncul dalam bentuk tonjolan seperti rambut dalam dinding sel bakteri
streptococcus. Ketika protein M terbentuk, bakteri streptococcus menjadi
virulen, dengan tanpa adanya antibodi
spesifik jenis M, maka akan menolak fagositosis yang dilakukan oleh leukosit
polimorfonuklear, streptococcus grup A yang tidak memiliki protein M bersifat
tidak virulen. Kekebalan terhadap infeksi oleh bakteri streptococcus grup a
berhubungan dengan adanya antibodi spesifik terhadap protein M. Karena ada
lebih dari 80 jenis protein M, maka seseorang dapat terinfeksi berkali-kali
dengan S.pyogenes grup A dengan jenis
protein M yang berbeda. Grup C dan G memiliki gen homolog dengan gen untuk
protein M pada grup A, dan protein M juga ditemukan pada streptococcus grup G.
Struktur dan fungsi
karakteristik dari protein M sudah dipelajari secara seksama. Molukelnya
berbentuk seperti batang yang menggulung (struktur gulungan) yang memisahkan
fungsi utamanya. Struktur tersebut memungkinkan terjadinya perubahan urutan
yang besar ketika mempertahankan fungsinya, dan determinan kekebalan protein M
akan menjadi mudah berubah. Ada 2 kelas struktur utama pada protein M yaitu
kelas I dan II. Dan tampaknya, protein M dan mungkin antigen dinding sel
bakteri streptococcus yang lain memiliki peranan penting dalam pathogenesis
pada demam rematik. Membran dinding sel bakteri streptococcus telah diasumsikan
dapat menimbulkan antibodi yang dapat bereaksi dengan human cardiac sarcolemma, namun karakteristik reaksi silang dari
antigen tersebut tidaklah jelas. Komponen dinding sel pada jenis M tertentu
yang dapat mengakibatkan antibodi bereaksi dengan jaringan otot jantung.
Antigen utama yang terdapat pada protein M kelas I dapat bereaksi silang dengan
otot jantung manusia, mungkin protein M kelas I merupakan determinan virulensi
terhadap demam rematik.
3.
Substansi T
Antigen ini tidak
mempunyai kaitan dengan virulensi dari bakteri streptococcus. Tidak seperti
protein M, substansi T mempunyai sifat tidak tahan terhadap asam dan panas. Hal
tersebut diperoleh dari bakteri streptococcus dengan cara digesti/penguraian
proteolitik, yang dapat merusak protein M dengan cepat. Substansi T
memungkinkan untuk dipakai dalam diferensiasi terhadap jenis-jenis tertentu
bakteri streptococcus yaitu melalui penggumpalan dengan antiserum khusus,
sedangkan jenis lain juga memiliki substansi T yang sama. Selanjutnya, antigen
permukaan lainnya disebut protein R.
4.
Nukleoprotein
Ekstraksi bakteri
streptococcus dengan alkali lemah menghasilkan campuran protein dan substansi
lain yang mempunyai spesifisitas serologi yang kecil dan ini disebut dengan
substansi P, yang kemungkinan menyusun sebagian besar sel tubuh bakteri
streptococcus.
Toksin dan Enzim
Lebih dari 20 produk
ekstraseluler yang antigenik termasuk dalam grup A, diantaranya adalah sebagai
berikut:
A.
Streptokinase (Fibrinolysin)
Streptokinase dihasilkan
oleh banyak strain pada bakteri streptococcus β hemolitik grup A. Streptokinase
mengakibatkan perubahan bentuk plasminogen pada plasma manusia menjadi plasmin,
yang merupakan sebuah enzim proteolitik yang mengurai fibrin dan protein lain.
Proses penguraian ini dapat dihambat dengan serum inhi-bi-tor nonspesifik dan
dengan antibodi spesifik yaitu antistreptokinase.
Streptokinase dapat dipakai
sebagai pengobatan dimasukkan ke dalam pembuluh darah pada penderita emboli
paru-paru dan trombosis arteri coronaria serta trombosis vena.
B.
Streptodornase
Streptodornase (streptococcal deoxyribonuclease) dapat
melakukan depolimerisasi DNA. Aktifitas enzim dapat diukur melalui penurunan
pada viskositas larutan DNA. Eksudat purulen mengubah viskositasnya sehingga
menjadi deoksiribonukleoprotein. Campuran streptodornase dan streptokinase
dipakai dalam ‘enzymatic debridement’.
Mereka membantu mencairkan eksudat dan menfasilitasi pengeluaran nanah dan
jaringan nekrotik, sehingga obat antimikroba memperoleh akses masuk ke dalam
tubuh dengan lebih baik dan penyembuhan infeksi permukaan lebih cepat. Suatu
antibodi terhadap Dnase terbentuk setelah infeksi bakteri streptococcus (batas
normal = 100 unit), khususnya setelah terjadi infeksi pada kulit.
C.
Hyaluronidase
Hyaluronidase dapat
memecah asam hyaluronat, yang merupakan komponen penting pada substansi dasar
dari jaringan ikat. Sehingga dari hal tersebut, hyaluronidase bertujuan
menyebarkan mikroorganisme penyebab infeksi (faktor penyebar). Hyaluronidase
bersifat antigenik dan spesifik untuk setiap bakteri atau sumber jaringan.
Infeksi selanjutnya dengan organisme yang menghasilkan hyaluronidase, maka
antibodi spesifik dapat ditemukan dalam serum.
D.
Eksotoksin Pirogenik (Toksin Eritrogenik)
Eksotoksin pirogenik
dihasilkan oleh bakteri streptococcus grup A. Terdapat tiga jenis antigen yang
berbeda dari streptococcal pyrogenic
exotoxin; A, B, dan C. Untuk eksotoksin A telah dipelajari secara luas.
Eksotoksin A dihasilkan dari bakteri streptococcus grup A yang membawa fase
lisogenic dan merupakan super antigen. Streptococcal
pyrogenic exotoxin dikaitkan juga dengan streptococcal toxic syok syndrome dan demam skarlet. Sebagian besar
strain bakteri streptococcus grup A yang diisolasi dari pasien dengan streptococcal toxic syok syndrome
ternyata menghasilkan streptococcal
pyrogenic exotoxin A atau gen yang mengkodenya, sebagai pembanding hanya
sekitar 15% dari streptococcus grup A yang diisolasi dari pasien lain mempunyai
gen ini. Streptococcal pyrogenic exotoxin
C juga dapat menyebabkan sindrom tersebut, sedangkan peranan Streptococcal pyrogenic exotoxins B
tidak jelas. Bakteri streptococcus grup A yang berkaitan dengan toxic shoch syndrome memiliki komponen
utama protein M jenis 1 dan 3.
E.
Disphosphopyridine nucleotidase
Enzim ini dihasilkan
dalam lingkungan oleh beberapa bakteri streptococcus. Substansi ini berhubungan
dengan kemampuan organisme untuk mematikan leukosit. Proteinase dan amilase
diproduksi oleh beberapa stain enzim ini.
F.
Hemolisin
Banyak streptococcus mampu
untuk melakukan proses hemolisis sel darah merah secara in vitro pada berbagai
tingkatan. Kerusakan sempurna yang terjadi pada eritrosit yang tidak lengkap
dengan susunan pigmen hijau disebut alfa hemolisis. S.pyogenes hemolitic β grup A menghasilkan dua hemolisin
(streptolisisn) yaitu :
a.
Streptolisin O
Merupakan suatu
protein (BM 60.000) yang dapat menghemolisis secara aktif dalam keadaan
tereduksi (yang menyediakan grup-SH) namun secara cepat tidak aktif bila
terdapat oksigen. Streptolisin O ikut berperan dalam pada medium lempeng agar
darah. Streptolisin O berkombinasi secara kuantitatif dengan antistreptolisin
O, yaitu suatu antibodi yang muncul dalam infeksi berkelanjutan pada tubuh
manusia dengan beberapa streptococcus yang memproduksi streptolisin O. Antibodi
ini menghambat hemolisis dengan streptolisin O. Fenomena ini merupakan dasar
untuk tes kuantitatif terhadap antibodi. Titer serum antistreptolisin O (ASO)
dalam kadar 160 – 200 unit dianggap abnormal tinggi dan merupakan
tanda adanya infeksi baru oleh streptococcus, atau adanya antibodi yang tetap
tinggi akibat respon kekebalan yang terjadi pada pemaparan awal pada orang yang
hipersensitif.
b.
Streptolisin S
Yaitu suatu bahan
yang bertanggungjawab untuk timbulnya daerah hemolitik di sekeliling koloni
bakteri streptococcus yang tumbuh pada permukaan media lempeng agar darah. Hal
ini terbentuk dengan adanya serum yang kemudian disebut streptolisin S.
Streptolisin S tidak bersifat antigenik, tetapi kemungkinan dihambat oleh
inhibitor nonspesifik yang sering terdapat dalam serum manusia dan hewan serta
tidak tergantung pada pengenalan sebelumnya terhadap bakteri streptococcus.
Klasifikasi Bakteri
Streptococcus
Setelah beberapa tahun,
pengklasifikasian bakteri streptococcus dalam beberapa kategori utama telah didasarkan
pada rangkaian penelitian, yaitu: 1. Morfologi koloni dan reaksi hemolitik pada
media agar darah; 2. Spesifisitas serologi dari grup substansi spesifik pada
dinding sel (klasifikasi Lancefield) dan dengan dinding sel yang lain atau
dengan antigen kapsul; 3. Reaksi biokimia dan daya tahan terhadap faktor fisik
serta kimia; 4. Tampilan ekologi. Tambahan tes biokimia dan genetik secara
molekular juga telah digunakan untuk mempelajari hubungan spesies bakteri
streptococcus dengan yang lain. Berdasarkan kombinasi metode diatas, dapat
dilakukan klasifikasi bakteri streptococcus untuk tujuan pengobatan dan
epidemiologi yang nyaman, namun metode baru telah diperkenalkan sebagai
klasifikasi yang telah dijabarkan. Dalam beberapa kasus, beberapa nama spesies
yang berbeda dipakai untuk menjelaskan organisme yang sama dan di saat lain,
beberapa anggota spesies yang sama dimasukkan ke dalam klasifikasi spesies lain
atau diklasifikasikan terpisah, sebagai contoh adalah genus enterococcus, yang
sekarang ini meliputi beberapa spesies yang sebelumnya diklasifikasikan dalam
bakteri streptococcus grup D. Klasifikasi bakteri streptococcus ini digambarkan
dalam paragraf berikutnya dari ringkasan yang terdapat dalam Tabel 15-1
merupakan suatu pendekatan berdasarkan logika.
A.
Hemolisis
Karakteristik
hemolisis β dan α (dan nonhemolisis) telah dijelaskan diatas dan pada Tabel
15-1. Dalam beberapa sistem pengklasifikasian, strain hemolitik-β termasuk juga
strain yang memperlihatkan hemolitik-α setelah inkubasi semalam pada media agar
darah domba 5%. Pada klasifikasi yang lain, hanya strain yang menunjukkan
hemolysis β dapat dikatakan lebih bersifat hemolitik sedangkan strain
hemolitik-a termasuk dalam strain nonhemolitik. Pengklasifikasian pola
hemolitik digunakan terutama pada bakteri streptococcus dan bukan pada bakteri lain
yang dapat menyebabkan penyakit serta bakteri yang secara tipikal menghasilkan
bermacam-macam hemolisin.
B.
Substansi
Grup-Spesifik (Klasifikasi Lancefield)
Asam panas atau ekstrak
enzim mengandung substansi karbohidrat grup spesifik. Bahan ini dapat
menimbulkan reaksi presipitasi pada antiserum spessifik, hal ini yang
memungkinkan dilakukan pengelompokan k dalam grup A-H dan K-U. Pengelompokan
tipe biasanya dilakukan hanya untuk grup A-D, F dan G yang menyebabkan penyakit
pada manusia dan untuk hal tersebut ada reagens yang dapat digunakan untuk
pengelompokan dengan menggunakan reaksi penggumpalan sederhana atau reaksi
warna.
C.
Kapsul Polisakarida
Spesifitas antigenik
pada polisakarida kapsul digunakan untuk mengklasifikasikan S.pneumoniae menjadi 84 jenis dan untuk
mengelompokkan bakteri streptococcus grup B (S agalactiae).
D.
Reaksi Biokimia
Tes biokimia termasuk
reaksi fermentasi gula, tes untuk mengetahui adanya enzim dan tes untuk
mengetahui kepekaan atau resistensi terhadap bahan biokimia tertentu. Tes
biokimia lebih sering digunakan untuk mengklasifikasikan bakteri streptococcus
setelah koloni tumbuh dan pengamatan karakteristik hemolitik. Tes biokimia
dipakai juga untuk spesies yang secara tipikal tidak bereaksi dengan sediaan
antibodi yang secara umum digunakan terhadap substansi grup spesifik, yaitu
grup A,B, C, F, dan G. Sebagai contoh, bakteri Streptococcus viridans merupajan jenis hemolitik-α atau
nonhemolitik dan tidak bereaksi terhadap antibodi yang secara umum digunakan
pada klasifikasi Lancefield. Penentuan khusus untuk bakteri Streptococcus
viridans ini memerlukan sederetan tes biokimia.
Klasifikasi Bakteri
Streptococcus dari Sisi Kepentingan Medis
Bakteri streptococcus dan
enterococcus di bawah ini mempunyai kaitan secara medis (Nama-nama spesies yang
jarang dimasukkan untuk menjelaskan klasifikasi terdahulu dan sekarang).
A.
Streptococcus
pyogenes
Kebanyakan
bakteri streptococcus yang termasuk dalam antigen grup A adalah S.pyogenes. Bakteri ini bersifat
hemolitik-β. S.pyogenes adalah
bakteri patogen utama pada manusia dikaitkan dengan invasi lokal atau sistemik
dan gangguan immunologi pasca infeksi oleh streptococcus. S.pyogenes secara tipikal memproduksi hemolitik beta dalam jumlah
besar (1 cm dalam diameter) di sekeliling koloni, diameternya lebih besar dari
0,5 mm. Akan menunjukkan PYR-positif (hydrolisis
of L-pyrolidonyl-2-naphtylamide) dan biasanya peka terhadap basitrasin.
B.
Streptococcus
agalactiae
Termasuk dalam
streptococcus grup B. Mereka adalah anggota dari flora normal pada saluran
organ wanita serta penyebab penting dari sepsis daerah hemolisis yang sedikit
lebih luas daripada koloninya (berdiameter 1 – 2 mm). Bakteri streptococcus
grup B dapat menghidrolisis natrium hippurate dan memberi respon positif
terhadap tes CAMP (Christie, Atkins, Munch-Peterson).
C.
Grup C dan G
Bakteri streptococcus
ini kadang terdapat di dalam nasofaring dan dapat menimbulkan sinusitis,
bakteriemia atau endokarditis. Sering kelihatan seperti S. pyogenes grup A pada medium darah agar dan bersifat hemolitik-β.
Dapat diidentifikasi menggunakan reaksi dengan antiserum spesifik untuk grup C
atau G.
D.
Enterococcus faecalis (E. faecium, E. durans)
Bakteri enterococcus
dapat bereaksi dengan antiserum grup D. Enterococcus ini merupakan bagian dari
flora normal enterik. Karena antigen grup D adalah asam teichoic, maka hal ini
bukanlah sebuah penanda antigen yang baik, sehingga enterococus biasanya diidentifikasikan
menggunakan sifat karakteristik yang lain. Mereka biasanya bersifat
nonhemolitik tapi suatu saat dapat bersifat hemolitik-α. Meskipun termasuk
katalase negatif, bakteri enterococus kadang-kadang bersifat katalase positif
yang lemah. Jenis inilah yang disebut PYR-positif. Mereka tumbuh dengan adanya
empedu dan menghidrolisa eskulin (bile
esculin-positive). Mereka dapat hidup dalam NaCl 6,5%. Dan lebih tahan
terhadap Penisilin G daripada bakteri streptococus dan jarang hasil isolasinya
memiliki plasmida yang dapat mengkode laktamase-β. Yang banyak diisolasi adalah
resisten terhadap vankomisin.
E.
Streptococcus bovis
Bakteri ini termasuk
dalam streptococcus grup D nonenterococus. Mereka sebagian merupakan flora
enterik dan kadangkala dapat mengakibatkan endokarditis, dan juga dapat
mengakibatkan endokarditis, dan juga dapat mengakibatkan bakteremia pada pasien
dengan carcinoma calon. Bakteri ini bersifat nonhemolitik dan PYR-negatif.
Dapat tumbuh dengan adanya empedu dan menghidrolisa eskulin (bile esculin-positif) tapi tidak dapat
tumbuh dalam NaCl 6,5%. S. bovis sering
diklasifikasikan sebagai bakteri streptococcus viridans.
F.
Streptococcus anginosus
Nama lain dari S.anginosus adalah S. milleri, S. Intermedius,
dan S. Constellatus. Bakteri
streptococcus ini merupakan bagian dari flora normal. Bisa bersifat α, β, atau
nonhemolitik. S.anginosus meliputi
bakteri streptococcus hemolitik β yang membentuk koloni kecil (berdiameter <
0,5 mm) dan bereaksi dengan antiserum grup A, C, atau G; dan terhadap semua
hemolitik β grup F. Semua yang termasuk dalam grup A adalah PYR-negatif.
Organisme S.anginosus bereaksi
positif dengan tes Voges Proskauer. Mereka dapat diklasifikasikan sebagai bakteri
streptococus viridans.
G.
Streptococcus Grup N
Mereka jarang
menimbulkan penyakit pada manusia namun dapat menyebabkan penggupalan normal
pada susu.
H.
Streptococcus Grup E, F, G, H, dan K-U
Bakteri streptococcus
ini terdapat terutama pada hewan dan terkadang juga pada manusia.
I.
Streptococcus
pneumoniae
Bakteri pneumococus
bersifat hemolitik-α. Pertumbuhan bakteri ini dihambat oleh optochin (ethylhydrocupreine hydrochloride) dan
koloninya dapat larut dalam empedu (bile-soluble).
Peranannya dalam penyakit yaitu pada bagian di bawah ini.
J.
Streptococcus viridans
Bakteri streptococcus
viridans ini antara lain adalah S.mitis,
S.mutans, S. Salivariius, S.sanguis (grup H) dan lain-lain. Secara tipikal,
biasanya bersifat hemolitik-α, tapi kemungkinan lain mereka bersifat
nonhemolitik. Pertumbuhannya tidak dihambat oleh optochin dan koloninya tidak
dapat larut dalam empedu (deoxycholate).
Bakteri streptococus viridans merupakan bakteri yang paling umum sebagai flora
normal pada saluran pernafasan atas dan berperan penting untuk menjaga
kesehatan membran mukosa yang terdapat disana. Mereka dapat mencapai aliran
darah oleh karena trauma dan merupakan penyebab utama. Endokarditis pada katup
jantung yang abnormal. Beberapa bakteri streptococcus viridans (misal, S.mutans) mensintesa banyak polisakarida seperti dextrans atau
levans dari sukrosa dan mempunyai peranan penting pada proses pembentukan
karies gigi.
K.
Varian Streptococcus Secara Nutrisional
Beberapa varian
streptococcus secara nutritional (Abiottrophia
adjacens, dahulu Streptococcus
adjacens, dan Abiotrophia defectiva,
dahulu Streptococcus defectivus)
lebih dikenal sebagai ‘nutritionally
deficient streptococci’, ‘pyridoxal-dependent
streptococci’ dan dengan nama lain. Varian tersebut diatas memerlukan
piridoksal atau sisteine untuk dapat tumbuh dalam agar darah atau dapat tumbuh
membentuk koloni satelit yang mengelilingi koloni staphylococus. Biasanya
bersifat hemolitik-α tapi bisa juga bersifat nonhemolitik. Bakteri ini
merupakan bagian dari flora normal dan kadangkala menyebabkan bakteremia atau
endokarditis dan dapat ditemukan dalam abses otak dan infeksi lain. Secara
rutin penambahan piridoksal pada median agar darah akan meningkatkan pertumbuhan
organisme tersebut.
L.
Peptostreptococcus (Banyak spesies)
Bakteri streptococcus
jenis ini dapat tumbuh hanya pada kondisi anaerob atau mikroaerofilik dan dapat
memproduksi hemolisin. Bakteri ini merupakan bagian flora normal dari rongga
mulut, saluran pernafasan atas, bagian isi perut dan saluran genital wanita.
Sering berperan bersama spesies bakteri lain membentuk infeksi anaerobik
campuran pada perut, pinggul, paru-paru dan otak.
Patogenesis dan
Penemuan Klinis
Beragam proses penyakit yang berhubungan dengan infeksi
dapat disebabkan oleh bakteri streptococcus. Sifat biologis dari organisme yang
menginfeksi, respon alami inang dan tempat masuknya infeksi semuanya
mempengaruhi gambaran patologik. Infeksi tersebut dapat dibagi menjadi beberapa
kategori.
A.
Penyakit
yang ditandai adanya invasi oleh bakteri streptococus hemolitik beta grup A (S. Pyogenes)
Tempat masuk bakteri akan
menentukan gambaran klinis. Dalam masing-masing kasus, ada semacam penyebaran
infeksi secara merata dan cepat yang masing-masing melibatkan jaringan dan
meluas di sepanjang saluran limfatik dengan suppurasi lokal yang minimal. Dari
saluran limfatik, infeksi dapat meluas ke pembuluh darah.
1.
Erysipelas
Jika tempat masuknya adalah kulit, dapat
menimbulkan erysipelas, dengan ditandai adanya edema yang laus dan infeksi
menyebar di bagian tepi dengan cepat.
2.
Cellulitis
Cellulitis karena
bakteri streptococcus sifatnya adalah akut, dapat menyebar secara cepat pada
kulit dan jaringan subkutaneus. Infeksi dapat
terjadi karena trauma ringan, luka bakar atau leka bedah. Dapat terjadi
nyeri, keras, bengkak dan erythema. Cellulitis dapat dibedakan dari erysipelas
dengan dua tanda klinis yaitu: pada cellulitis lesi tidak menonjol dan batas
antara jaringan yang terinfeksi dengan jaringan yang tidak terinfeksi tidak
tampak.
3.
Necrotizing Fasciitis (streptococcal gangrene)
Merupakan infeksi
pada jaringan subkutaneus dan fascia. Dapat terjadi nekrosis menyebar dengan
cepat dan luas pada kulit dan jaringan subkutaneus. Bakteri –bateri selain
bakteri streptococcus grup A dapat juga mengakibatkan necrotizing fasciitis.
Bakteri streptococcus grup A ini dinamakan ‘fleshcating bacteria’.
4.
Demam Puerperal
Jika bakteri streptocccus masuk melalui
uterus maka terjadilah demam puerperal yang secara essensial merupakan suatu
septicemia yang berasal dari luka yang terinfeksi (endometritis).
5.
Sepsis
Merupakan infeksi
akibat trauma atau luka pembedahan oleh streptococci yang menyebabkan sepsis
atau deman skarlet sesudah pembedahan (surgical
scarlet fever).
B.
Penyakit
yang ditandai dengan adanya infeksi lokal karena bakteri S.pyogenes hemolitik beta grup A dan hasil sampingannya:
1.
Sakit tenggorokan karena streptococcus
Infeksi yang umum terjadi
dikarenakan oleh bakteri streptococus hemolitik-β adalah sakit tenggorokan
karena streptococcus. Bakteri streptococus grup A yang virulen dapat melekat
pada epitelium faring dengan cara asam lipoteichoic menutupi permukaan pili. Glikoprotein
ffibronektin (BM 440.000) pada sel epitel kemungkinan berfungsi sebagai tempat
pengikatan dari asam lipoteichoic. Pada bayi dan anak kecil, penyakit
tenggorokan terjadi dalam bentuk nasofaringitis subakut dengan pembentukan
cairan sedikit serous dan disertai sedikit demam namun cenderung menginfeksi
secara luas dalam telingan bagian tengah, processus
mastoideus dan meningen. Kelenjar
limfe bagian servikal biasanya membesar. Penyakit mungkin dapat berlangsung
selama beberapa minggu. Sedang pada anak yang lebih tua dan orang dewasa,
penyakit yang dialami lebih akut dan ditandai dengan adanya nasofaringitis yang
lebih berat, tonsilitis dan warna kemerahan serta edema pada selaput lendir,
disertai eksudat purulen, pembesaran kelenjar limfe pada leher dan demam
tinggi. Dua puluh persen infeksi ini adalah simptomatik. Gambaran klinis mirip
seperti pada infeksi mononukleosis, difteri, infeksi gonococcal, dan infeksi
adenovirus.
Infeksi oleh bakteri streptococcus
pada saluran pernafasan atas biasanya tidak menyerang paru-paru. Radang
paru-paru yang diakibatkan oleh bakteri streptococus hemolitik-β sangat cepat
berkembang dan menyebar dan pada umumnya merupakan lanjutan dari infeksi virus,
misalnya, influenza atau campak, yang tampaknya mengakibatkan perubahan
kepekaan yang sangat besar.
2.
Streptococcal pyoderma
Infeksi lokal pada kulit
lapisan luar, terutama pada anak-anak, disebut dengan impetigo. Berupa lepuh superfisial yang pecah dan pada area yang
rusak terdapat permukaan yang ditutupi oleh nanah atau crusta.
Bakteri ini dapat cepat
menyebar dan sangat menular terutama pada suhu panas dan iklim lembab. Infeksi
yang lebih luas dapat terjadi pada kulit eczematous atau kulit yang luka atau
terbakar dan dapat berubah menjadi cellulitis. Infeksi kulit oleh bakteri
streptococcus grup A ini sering diakibatkan oleh jenis M 49, 57 dan 59 – 61
serta dapat menyebabkan glumerulonefritis tetapi jarang mengarah pada demam
rematik.
C.
Endokarditis Infektif
1.
Endokarditis Akut
Selama terjadi
bakteremia, streptococcus hemolitik, pneumococcus atau bakteri lain, akan
menetap pada katup jantung normal atau katup jantung yang mengalami kelainan,
dan menyebabkan endokarditis akut. Perusakan secara cepat pada katup sering
mengakibatkan kegagalan jantung yang fatal dalam hitungan hari atau minggu
kecuali jika prostetiknya dapat dipasang selama pemberian terapi antimikroba S.aureus dan basil gram-negatif
kadangkala ditemukan dalam penyakit ini, khususnya pada pengguna narkotik.
Pasien dengan katup jantung prostetik memiliki resiko tertentu.
2.
Endokarditis subakut
Endokarditis subakut
sering terjadi pada katup jantung yang abnormal (congenital deformities dan rematik atau atherosclerotic). Meskipun beberapa organisme mampu mencapai
pembuluh darah dan menetap sendiri pada lesi
trombosit yang dibentuk pada luka endotel sebagai hasil dari tekanan
sirkulasi, endokarditis subakut ini lebih sering disebabkan oleh flora normal
dalam sistem respirasi atau pada saluran intestinal, yang secara tak sengaja
mencapai aliran darah. Setelah mengalami pencabutan gigi, paling tidak 30%
pasien akan mengalami bakteremia yang disebabkan oleh Streptococus viridans.
Bakteri streptococcus ini secara umum merupakan flora yang paling dominan pada
sistem respirasi atas, yang merupakan penyebab terjadinya endokarditis subakut.
Bakteri streptococcus grup D juga merupakan penyebab umum terjadinya
endokarditis subakut. Sekitar 5 – 10% kasus terjadi karena bakteri enterococcus
yang berasal dari usus atau saluran kemih. Lesi ini tumbuh lambat dan bagian
yang mengalami penyembuhan akan mengalami inflamasi aktif dengan vegetasi yang
terdiri atas fibrin, platelets, sel darah dan bakteri yang melekat pada katup
jantung. Perawatan klinis dilakukan secara berangsur-angsur namun penyakitnya
dapat menjadi fatal pada beberapa kasus. Sebagai gambaran klinis diantaranya
seperti demam, anemia, lesu, heart murmur,
fenomena embolik, pembengkakan limpa dan lesi ginjal.
D.
Infeksi
Streptococcus grup A yang Invasif, Streptococcal
Toxic Shock Syndrome dan Scarlet
Fever
Infeksi oleh streptococcus
grup A yang invasif disertai Streptococcal
Toxic Shock Syndrome ditandai dengan adanya syok, bakteremia, kegagalan
respirasi dan kegagalan multiorgan. Kematian terjadi pada sekitar 30% pasien.
Infeksi terjadi cenderung setelah mengalami trauma minor pada orang sehat yaitu
dengan adanya jaringan lunak yang mengalami infeksi. Bakteremia terjadi pada
pasien yang mengalami infeksi oleh bakteri streptococus grup A ini. Pada
beberapa pasien, secara khusus yang mengalami infeksi oleh bakteri
streptococcus grup A jenis M 1 atau 3, penyakitnya muncul dengan gejala infeksi
pada jaringan lunak focal yang disertai demam dan terjadinya syok secara cepat
dengan kegagalan multiorgan. Erythema dan desquamasi dapat terjadi disini.
Bakteri streptococus grup A jenis M 1 dan 3 ini (juga jenis 12 dan 28) yang
dapat membuat eksotoksin pirogenik A atau B menimbulkan infeksi yang berat.
Toksin ini dan protein M bertindak sebagai superantigen yang merangsang sel T
dengan mengikat kompleks histokompatibitas mayor kelas II dalam wilayah Vβ
pada reseptor sel T. Sel T yang telah aktif kemudian melepaskan sitokin yang
menimbulkan syok dan kerusakan jaringan. Mekanisme kerjanya hampir sama dengan
hal yang dilakukan pada staphylococcal
toxic syndrome toxin-1 dan staphylococcal
enterotoxins.
Pyrogenic exotoxin A-C
juga menyebabkan demam skarlet yang berkaitan dengan faringitis oleh bakteri
streptococcus grup A, atau dengan infeksi kulit atau infeksi jaringan lunak.
Faringitis yang terjadi mungkin berat. Bercak-bercak akan muncul pada tubuh
setelah 24 jam sakit dan menyebar ke seluruh ekstremitas. Streptococcal toxic shock syndrome dan demam skarlet merupakan
penyakit yang saling tumpang tindih.
E.
Infeksi lainnya
Bermacam-macam bakteri
streptococcus terutama enterococcus, dapat mengakibatkan infeksi pada saluran
kemih. Bakteri streptococcus anaerob (peptostreptococcus) terdapat dalam
saluran genital wanita normal, mulut dan intestinum. Bakteri tersebut dapat
menimbulkan lesi supuratif, kadang dilakukan sendiri namun kebanyakan bersama
dengan bakteri anaerob lain terutama bacteroides. Beberapa infeksi dapat
terjadi pada luka, pada payudara, pada endometritis postpartum, sebagai akibat
robeknya abdominal viscus, atau supurasi kronik pada paru-paru. Bahan nanah
tersebut biasanya memiliki bau yang tidak sedap. Bermacam-macam bakteri
streptococus yang lain (grup C-L dan O) yang biasanya ditemukan dalam tubuh
hewan kadangkala dapat juga menginfeksi manusia.
Grup B Streptococus
merupakab bagian dari flora normal vagina sekitar 5 – 25% dari wanita. Infeksi
oleh bakteri streptococcus grup B selama bulan pertama kehidupan dapat
menyebabkan sepsis fulminan, meningitis atau respiratory distress syndrome. Pemberian ampisilin intravenus saat intrapartum
dapat digunakan untuk mencegah kolonisasi pada bayi dimana ibunya membawa
bakteri streptococcus grup B.
F.
Poststreptococcal Diseases (Penyakit Rematik, Glomerulo-nefritis)
Setelah mengalami infeksi
akut oleh streptococcus grup A, ada suatu periode laten yaitu 1 – 4 minggu,
setelah itu penyakit nefritis atau rematik terjadi. Pada periode laten diduga
bahwa penyakit poststreptococcal
tidak berasal dari respon hipersensitif. Nefritis biasanya diawali oleh infeksi
kulit, demam rematik, adanya infeksi pada saluran respirasi.
1.
Glumerulonefritis Akut
Penyakit ini kadang timbul 3
minggu setelah infeksi streptococcus pada umumnya oleh M tipe 12, 4, 2 dan 49.
Beberapa strain bersifat nefritogenik. Pada suatu studi terdapat 23% anak-anak
dengan infeksi kulit dengan strain tipe 49 timbul nefritis dan hematuria. Tipe
M nefritogenik lainnya adalah tipe 59 – 61. Setelah infeksi oleh streptococcus
secara acak, insiden nefritis kurang dari 0,5%.
Glomerulonefritis disebabkan
oleh kompleks antigen-antibodi pada membran dasar glomerulus. Antigen yang
paling penting terdapat dalam membran protoplas streptococcus. Pada nefritis
akut, terdapat darah dan protein dalam urin, edema, tekanan darah tinggi dan
penumpukan nitrogen urea serta tingkat komplemen serum yang rendah. Beberapa
pasien yang pernah mengalami glomerulonefritis kronis dengan gagal ginjal
sebagian besar dapat sembuh sempurna.
2.
Demam Rematik
Merupakan perkembangan
lanjut yang serius dari infeksi oleh streptococcus hemolitik karena hal
tersebut mengakibatkan kerusakan pada katup dan otot jantung. Strain tertentu
dari streptococcus grup A terdiri dari antigen membran sel yang mengadakan
reaksi silang dengan antigen jaringan jantung manusia. Serum dari pasien demam
rematik mengandung antibodi terhadap antigen ini.
Permulaan dari demam rematik
kadangkala diawali adanya infeksi oleh streptococcus grup A 1 – 4 minggu
sebelumnya, meskipun infeksi tersebut tidak terasa dan mungkin tidak dapat
terdeteksi secara dini. Bagaimanapun juga pada umumnya pasien dengan penyakit
tenggorokan yang berat yang disebabkan oleh streptococcus memiliki resiko lebih
besar terkena demam rematik. Infeksi streptococcus yang tidak terobati akan
menjadi demam rematik pada lebih dari 3 persen tentara dan 0,3 persen anak-anak
di tahun 1950. Pada tahun 1980, demam rematik relatif jarang di USA (<0.005%
infeksi streptococcus), tetapi terjadinya lebih dari 100 kali lebih sering pada
negara tropis seperti Mesir dan yang paling penting, merupakan penyebab
penyakit jantung pada orang-orang muda di negara berkembang.
Gejala dan tanda yang khas
dari penyakit rematik diantaranya demam, malaise, migratori nonsuppurative polyarthitis dan inflamasi seluruh bagian
jantung (endocardium, micocardium, pericardium). Karakteristik karditis
ditandai dengan penebalan dan kerusakan katup dan granuloma perivascular kecil
pada mycocardium (Tubuh Aschoff) yang digantikan oleh jaringan parut. Tingkat
laju sedimen eritrosit, kadar transaminase serum, elektrokardiogram dan tes
lainnya dapat digunakan untuk memperkirakan adanya aktivitas rematik.
Demam rematik ditandai
dengan adanya reaktivasi infeksi streptococcus yang sering kambuh, sedangkan
pada nefritis tidak. Serangan awal dari demam rematik biasanya mengakibatkan
kerusakan jantung yang sangat kecil, yang bagaimanapun juga akan meningkat
terus pada serangan berikutnya. Oleh karena tiu penting untuk melindungi pasien
dari infeksi kambuhan streptococcus hemolitik beta grup A dengan pemberian
penisilin profilaktik.
Uji Diagnostik
Laboratorium
A.
Spesimen
Spesimen diperoleh
tergantung dari letak infeksi streptococcus. Usapan tenggorokan, nanah atau
darah diperlukan untuk kultur. Serum diperlukan untuk penentuan antibodi.
B.
Hapusan
Hapusan dari nanah
lebih sering menunjukkan coccus tungal atau berpasangan daripada rantai. Coccus
kadangkala bersifat gram negatif karena organisme tidak mampu bertahan hidup
dan kehilangan kemampuannya untuk menyimpan bahan warna biru (crystal violet) dan seharusnya gram
positif. Jika hapusan dari nanah menunjukkan streptococci tetapi kultur gagal
tumbuh; hal tersebut dicurigai karena adanya organisme anaerobik, karena
streptococcus (viridans) selalu ada dan memiliki ciri yang sama seperti
streptococcus grup A pada saat hapusan diwarnai.
C.
Kultur
Spesimen yang dicurigai
mengandung streptococci anaerob dikultur pada cawan agar. Media anaerobik yang
sesuai juga harus diinokulasi. Inkubasi pada 10 persen CO2 kadang
mempercepat hemolisis. Irisan inokulum melalui medium ke organisme yang
menempel dan oksigen inilah yang mengakibatkan streptolisin O menjadi tidak
aktif.
Kultur darah akan
menumbuhkan streptococcus hemolitik grup A (seperti pada sepsis) dalam beberapa
jam atau beberapa hari. Streptococcus hemolitik-α tertentu dan enterococcus
tumbuh dengan lambat, sehingga kultur darah pada kasus endokarditis yang
dicurigai tidak berubah menjadi positif dalam 1 minggu atau lebih.
Macam dan tingkatan dari
hemolisis (dan penampakan koloni) membantu penempatan mikroorganisme pada
kelompoknya. Streptococcus grup A dapat dengan cepat diidentifikasi oleh tes
antibodi fluoresens, tes PYR, dan tes khusus untuk melihat keberadaan antigen
kelompok A khusus. Pengelompokan serologis ditandai oleh tes presipitin atau
koagulasi yang seharusnya terbentuk ketika diperlukan untuk klasifikasi dan
untuk alasan epidemik. Streptococcus yang termasuk grup A dimungkinkan untuk
indentifikasi dengan adanya hambatan pertumbuhan oleh bacitracin, tetapi hanya
bisa digunakan bila tes difinitif tidak tersedia.
D.
Tes Deteksi Antigen
Beberapa peralatan komersial tersedia untuk
deteksi cepat dari antigen streptococcal kelompok A penyebab sakit
kerongkongan. Perangkat ini menggunakan enzim atau metode kimia untuk
mengekstrak antigen dari jaringan yang sakit tadi kemudian menggunakan EIA atau
tes aglutinasi untuk menunjukkan adanya antigen. Tes memakan waktu 10 menit
sampai berjam-jam setelah spesimen diperoleh. Ada 60 – 90 persen yang sensitif
dan 98 – 99 persen yang spesifik ketika dibandingkan dengan metode kultur. Tes
perlengkapan lebih cepat dibandingkan metode kultur.
E.
Tes Serologi
Peningkatan titer
antibodi dari antigen streptococcus grup A dapat diperkirakan : seperti
antibodi meliputi antistreptolisin O (ASO), terutam pada penyakit respiratory, anti-Dnase dan
antihyaluronidose, terutama pada infeksi kulit; streptokinase, antibodi anti-M
tipe spesifik; dan lainnya. Dari semuanya Anti-ASO titer paling luas
penggunaannya.
Imunitas (Kekebalan)
Ketahanan melawan penyakit
akibat invasi streptococcus adalah bertipe spesifik. Jadi bila inang telah
sembuh dari infeksi oleh satu streptococcus grup A tipe M, relatif tidak peka
pada proses infeksi kambuhan oleh tipe yang sama, tetapi peka pada infeksi oleh
tipe M yang lain. Antibodi anti-M tipe spesifik dapat ditunjukkan pada tes yang
memperlihatkan fakta bahwa streptococci mati secara cepat setelah fagositosis.
Protein M mempengaruhi fagositosis, dengan adanya antibodi tipe spesifik pada
protein M, streptococci dibunuh oleh leukosit manusia.
Antibodi terhadap
streptolisin O (antistreptolisin O,ASO) terbentuk setelah terjadi infeksi:
dapat menghambat hemolisis oleh streptolisin O tetapi tidak mengindikasikan
adanya imunitas. Titer yang tinggi (> 250 unit) mengindikasikan adanya
infeksi sesaat atau berulang dan lebih sering ditemukan pada rematik secara
individual daripada infeksi streptococcus yang tana komplikasi.
Pengobatan
Semua streptococcus
hemolitik-β grup-A bersifat sensitif terhadap penisiln G, dan kebanyakan
sensitif terhadap eritrosit. Sebagian taha dengan tetrasiklin. Streptococci
α-hemolitik dan enterococcus bervariasi dalam daya kepekaannya terhadap
antimikroba. Khususnya pada endokarditis bakterial, tes kepekaan terhadap
antibiotik bermanfaat untuk menentukan obat-obat mana yang bisa digunakan untuk
terapi optimal. Aminoglikosida dapat meningkatkan kecepatan reaksi bakterisidal
penisilin pada streptococcus khususnya enterococcus.
Obat-obat antimikroba tidak
berpengaruh pada demam rematik dan glomerulonefritis. Walaupun demikian, dalam
infeksi streptococcus akut, setiap usaha harus dibuat secara cepat untuk
eradikasi streptococcus dari pasien, menghilangkan rangsangan antigenik
(sebelum hari ke-8), dan juga mencegah penyakit pasca-streptococcus. Dosis
penisilin atau eritromisin yang menimbulkan kadar efektif dalam jaringan selama
10 hari biasanya dapat menghilangkan rangsangan ini. Obat-obat antimikroba juga
sangat bermanfaat dalam mencegah infeksi ulang dengan streptococcus β-hemolitik
grup A pada pasien-pasien demam rematik.
Epidemiologi,
Pencegahan dan Pengawasan
Beberapa streptococcus
(streptococcus viridans, enterococcus, dll) merupakan anggota flora normal pada
tubuh manusia. Streptococcus ini menyebabkan penyakit pada bagian-bagian tubuh
dimana mereka secara normal tidak ada (misalkan katup jantung). Untuk mencegah
peristiwa ini, khususnya dalam rangkaian prosedur operasi pada pernafasan,
saluran cerna, dan saluran kemih yang dapat menimbulkan bacteremia sesaat, obat
antimikroba sering dipakai secara profilaktik (untuk mencegah penyakit) bagi
orang-orang dengan kelainan katup jantung dan bagi mereka yang memakai katup
prostetik atau sendi prostetik.
Sumber utama streptococcus
grup A adalah orang yang mengandung organisme ini. Individu yang mengalami
infeksi klinik atau subklinik atau mungkin seorang pembawa penyakit (carrier) dapat menyebarkan streptococcus
secara langsung pada orang lain melalui droplet dari saluran pernafasan atau
kulit. Dari sekret nasal orang dengan streptococcus β-hemolitik merupakan
sumber paling berbahaya bagi penyebaran organisme lain. Peranan tempat tidur
yang terkontaminasi, barang perkakas rumah tangga, atau pakaian diragukan.
Puting sapi yang terinfeksi menghasilkan susu yang mungkin menyebabkan
penyebaran epidemik streptococcus β-hemolitik. Pengelompokan immunologi dan
tipe streptococcus merupakan perangkat berharga bagi penelusuran epidemiologi
rantai transmisi.
Prosedur kontrol diarahkan
secara utama pada sumber manusia.
1. Deteksi dan terapi antimikroba awal pada infeksi
pernafasan dan kulit dengan streptococci group A. Penghilangan streptococcus
dari infeksi-infeksi awal dapat secara efektif mencegah perkembangan penyakit
pasca-streptococcus. Ini membutuhkan kadar penisilin yang sesuai dalam jaringan
selama 10 hari (misalkan benzathine penisilin G yang diberikan segera secara
intramuskular). Eritromisin merupakan obat pilihan alternatif.
2. Khemoteprofilaksis antistreptococcus pada orang yang
mengalami serangan demam rematik. Ini melibatkan pemberian satu injeksi
benzathine penisilin G melalui otot atau intramuskular, setiap 3 – 4 minggu
atau penisilin oral harian atau sulfonamide oral. Serangan pertama demam
rematik jarang menyebabkan kerusakan utama pada jantung. Bagaimanapun juga
orang tersebut pada umumnya peka terhadao infeksi ulang oleh streptococcus yang
menyebabkan rematik dan meningkatkan kerusakan jantung. Khemoprofilaksis untuk
individu demikian, khususnya anak-anak, harus dilanjutkan selama
bertahun-tahun. Khemoprofilaksis tidak digunakan pada glomerulonefritis karena
hanya sejumlah kecil streptococcus merupakan tipe nefritogenik. Suatu
perkecualian, adalah kelompok keluarga dengan tingkat nephritis pasca
streptococcus. Perkecualian pada kelompok keluarga dengan tingkat nefritis
pasca streptococci yang tinggi.
3. Pembasmian streptococcus grup A dari pembawa bakteri (carrier). Ini khususnya penting ketika
para pembawa bakteri/carier bekerja dalam ruangan misalnya ruang bersalin,
ruang operasi, ruang kelas dan perawat. Sayang sekali sukar menghilangkan
streptococcus β-hemolitik dari carrier/pembawa bakteri yang permanen, dan
indiividu-individu dapat dijauhkan dari daerah yang sensitif untuk beberapa
saat.
4. Kontrol debu, ventilasi, penyaringan udara, cahaya UV,
dan kabut aerosol; semuanya diragukan efisiensinya dalam pengawasan transmisi
streptococcus. Susu seharusnya dipasteurisasikan.
5. Streptococcus hemolitik β-bertanggung jawab atas
kebanyakan kasus sepsis neonatal. Bakteri tersebut dapat berasal dari saluran
genital ibunya dimana tidak menunjukkan gejala. Infeksi neonatal didukung oleh
kurangnya antibodi sang ibu. Penyakit streptococcus Grup B pada bayi yang baru
lahir dapat dicegah dengan pemberian obat profilaksis pada diri seorang ibu
dengan hasil biakan positif pada proses kelahiran prematur atau pecahnya
membran yang sudah lama.
STREPTOCOCCUS PNEUMONIAE (PNEUMOCOCCUS)
Pneumococcus (S.
Pneumoniae) adalah diplococcus gram positif, sering berbentuk lancet atau
berbentuk rantai, memiliki kapsul polisakarida yang memudahkan untuk
pengelompokan antisera spesifik. Pneumococcus adalah dilisis dengan agen aktif
pada permukaan misalkan garam empedu. Agen aktif permukaan umumnya menghambat
atau tidak mengaktifkan penghalang autolisin dinding sel. Pneumococcus
merupakan penghuni normal dari saluran pernapasan bagian atas manusia sekitar 5
– 40 % dan dapat menyebabkan pneumonia, sinusitis, otitis, bronkitis,
bakteremia, meningitis dan proses infeksi lainnya.
Morfologi dan
Identifikasi
A.
Ciri Organisme
Merupakan diplococcus
berbentuk lancet, tipikal gram-positif (Gambar 15-3) sering dilihat dalam
spesimen kultur baru. Dalam sputum atau nanah, coccus tunggal atau rantai juga
terlihat. Semakin lama, organisme secara cepat berubah menjadi gram negatif dan
mengalami lisus secara spontan.
Struktur Antigenik
A.
Struktur Komponen
Polisakarida kapsuler
secara imunologi dibedakan menjadi 84 tipe. Polisakarida merupakan suatu
antigen yang mendapatkan respon sel B. Bagian somatis pneumococcus mengandung
protein M dimana karakteristik untuk masing-masing tipe dan kelompok
karbohidrat spesifik bersifat umum bagi semua pneumococci. Karbohidrat dapat
dipresipitasi oleh ptotein reaktif C, yakni substansi yang didapat dalam serum
pasien-pasien tertentu.
B.
Reaksi Quellung
Ketika pneumococcus
dari tipe tertentu dicampur dengan serum antipolisakarida dari tipe sama atau
dengan antiserum polivalen diatas slide mikroskop, kapsul dapat berkembang
secara nyata. Reaksi ini bermanfaat untuk identifikasi cepat dan penemuan tipa
organisme baik dalam sputum dan dalam kultur. Antiserum polivalen yang berisi
antibodi hingga 84 tipe (“banyak serum”) merupakan reagent yang baik untuk
determinasi pneumococcus pada sputum segar pada pemeriksaan mikroskopis.
Patogenesis
A.
Tipe Pneumococcus
Pada orang dewasa,
tipe 1 – 8 bertanggung jawab atas kira-kira 75% kasus pneumonia karena
pneumococcus dan lebih dari setengah angka kematian akibat bakteremia karena
pneumococcus; pada anak-anak tipe 6,14,19 dan 23 merupakan penyebab yang paling
sering.
B.
Produksi Penyakit
Pneumococcus
menyebabkan penyakit melalui kemampuannya untuk berkembang biak di dalam jaringan.
Mereka tidak menghasilkan toksin. Virulensi dari organisme merupakan fungsi
kapsulnya, yang dapat mencegah atau menunda pencernaan oleh fagosit. Serum yang
mengandung antibodi terhadap polisakarida tipe tertentu, maka serum tersebut
akan kehilangan daya proteksinya. Hewan atau manusia yang diimunisasi dengan
tipe polisakarida pneumococcus tertentu kemudian menjadi kebal terhadap tipe
pneumococcus tersebut dan memiliki antibodi presipitasi dan antibodi opsonisasi
untuk tipe polisakarida tersebut.
C.
Kehilangan Daya Tahan/Resistensi Alamiah
40 – 70% dari manusia
kadang-kadang merupakan carrier (pembawa) pneumococcus yang virulen, maka
mukosa pernafasan normal harus memiliki daya tahan alamiah bagi pneumococcus.
Diantara faktor-faktor yang mungkin menyebabkan rendahnya resistensi dan
berpengaruh pada infeksi pneumococcal adalah sebagai berikut:
1.
Ketidaknormalan saluran pernafasan
Virus dan
infeksi-infeksi lain merusak sel permukaan: akumulasi abnormal mucus (alergi)
yang melindungi pneumococcus dari fagositosis; obstruksi bronkus (misal
atelectasis); dan kerusakan saluran pernafasan disebabkan oleh bahan iritan
yang mengganggu fungsi mucociliary.
2.
Alkohol atau intoksikasi obat
Yang dapat menekan
kegiatan fagositik, menekan refleks batuk, dan memudahkan aspirasi bahan asing.
3.
Dinamika peredaran abnormal
(misalkan congesti pulmoner
dan kegagalan jantung).
4.
Mekanisme lain
Kekurangan gizi,
kelemahan umum, anemia sickle cell,
hiposplenisme, nefrosis atau defisiensi bahan tambahan.
Patologi
Infeksi pneumococcus menyebabkan pengeluaran cairan edema
fibrin secara berlebihan ke dalam alveoli, yang diikuti oleh sel darah merah
dan leukosit yang menyebabkan konsolidasi dari paru-paru. Sebagian pneumococcus
terdapat dalam eksudat ini, dan mereka dapat mencapai aliran darah melalui
saluran limfa dari paru-paru. Dinding alveolar tetap utuh secara normal selama
infeksi. Kemudian sel-sel mononuclear secara aktif melakukan fagosit pada
debris, dan fase cairan ini secara bertahap diserap kembali. Pneumococcus
ditangkap oleh fagosit dan dicerna secara intraseluler.
Tanda-tanda Klinis
Serangan pneumonia oleh
pneumococcus biasanya mendadak, diikuti dengan demam, menggigil dan nyeri tajam
pada pleura. Sputum mirip dengan eksudat alveolar, secara karakteristik
berdarah atau berwarna merah kecoklatan. Awal penyakit ini, ketika demam
meninggi, maka bakteremia tampak dalam 10 – 20% kasus. Dengan terapi
antimikroba, penyakit biasanya hilang secara
bertahap; jika obat-obat diberikan secara awal, maka perkembangan
konsolidasi terganggu.
Pneumonia oleh pneumococcus
harud dibedakan dari pulmonary
infarction, atelectasis, neoplasma, gagal jantung kongesti dan pneumonia
yang disebabkan oleh beberapa bakteri lain. Empymea (yakni pus/nanah dalam
ruang pleura) merupakan komplikasi
penting dan memerlukan aspirasi dan drainase. Dari saluran pernafasan,
pneumococcus dapat mencapai sisi lainnya. Sinus dan telinga bagian tengah
sering kali terkena. Kadangkala infeksi menyebar dari mastoid menuu ke
meningen. Bakteremia dari pneumonia menyebabkan tiga komplikasi: meningitis,
endokarditis dan septik arthritis. Dengan penggunaan khemoterapi awal, acute pneumococcal endocarditis dan
arthritis menjadi jarang.
Uji Diagnostik
Laboratorium
Darah untuk kultur dan sputum diambil untuk mengetahui
adanya pneumococcus melalui hapusan dan kultur. Tes serum antibodi tidak
praktis. Sputum dapat dicemari dengan beberapa cara.
A.
Hapusan yang diwarnai
Hapusan yang diwarnai
secara gram dari sputum merah kecoklatan dapat memperlihatkan organisme yang
khas, sebagian polimorfonuklear neutrifil dan sebagian sel darah merah.
B.
Tes Pembengkakan Kapsul
Sputum segar yang
diemulsi dicampur dengan antiserum menyebabkan pembengkakan kapsul (reaksi quellung) untuk identifikasi
pneumococcus dan penentuan tipe. Eksudat peritoneal juga dapat digunakan
sebagai bahan untuk tes pembengkakan kapsul.
C.
Kultur
Sputum yang dikultur
pada agar darah dan diinkubasi dalam suasana CO2 atau candle jar. Juga dapat dilakukan kultur
darah.
D.
Suntikan intraperitoneal sputum pada tikus
Hewan akan mati dalam
waktu 18 – 48 jam; darah dari jantung akan memberikan kultur murni yang
mengandung pneumococcus. Bentuk kultur seperti ini untuk pneumococcus sangatlah
sensitif tapi jarang digunakan karena diperlukan untuk mempertahankan koloni
tikus.
E.
Pneumococcal Meningitis
Pemeriksaan kultur
cairan cerebrospinal akan membuat diagnosa ini tepat.
Kekebalan
Kekebalan terhadap infeksi oleh pneumococcua adalah tipe
spesifik yang tergantung pada antibodi terhadap polisakarida kapsuler dan pada
fungsi fagositik. Vaksin dapat menimbulkan produski antibodi terhadap
polisakarida kapsuler (lihat dibawah).
Pengobatan
Karena pneumococcus bersifat sensitif terhadap obat
antimikroba, perawatan awal biasanya berlangsung pada proses pemulihan yang
cepat dan respon antibodi agaknya kurang
berperan. Penisilin G merupakan obat pilihan. Tapi di AS 5 – 10% pneumococcus resisten
terhadap penisilin dan kira-kira 20% agak resisten (MIC 0,1 – 1 µg/mL).
Penisilin G dosis tinggi dengan MICs sebesar 0.1 – 2 µg/mL, ternyata efektif
untuk menangani pneumonia yang disebabkan oleh strain yang sama. Beberapa
strain yang resisten penisilin ternyata juga resisten terhadap ceftizoxime,
juga resisten terhadap tetrasiklin dan eritromisin. Pneumococcus peka terhadap
vankomisin.
Epidemiologi
Pencegahan dan Pengawasan
Pneumonia oleh pneumococcus berjumlah sekitar 60% dari
semua pneumonia bakterial. Ini merupakan penyakit endemik dengan angka kejadian
tinggi pada carrier (pembawa penyakit). Pada perkembangan penyakit, faktor-faktor
yang mempengaruhi lebih penting daripada pemaparan terhadap agen yang
terinfeksi, dan carrier yang sehat lebih sering mendistribusikan pneumococcus
daripada pasien yang sakit. Sangat mungkin melakukan imunisasi terhadap
individu dengan polisakarida tipe spesifik. Vaksin dapat memberikan 90%
perlindungan terhadap bakteremia pneumonia. Diantara para pekerja tambang emas
di Afrika Selatan, vaksin-vaksin yang memuat 14 tipe pneumococcus menguntungkan
pasien yang memiliki penyakit sickle cell
atau setelah splenectomy. Pada tahun
1983, perluasan vaksin polisakarida yang memuat 23 tipe di-lisensikan di AS.
Vaksin-vaksin demikian sesuai bagi anak-anak dan bagi orang tua, orang yang
lemah atau individu yang daya tahan tubuhnya rendah. Vaksin pneumococcus akan
berkurang imunigenitasnya pada anak dibawah usia 2 tahun dan pada pasien yang
menderita limphoma; untuk pasien yang beresiko tinggi, pemberian propilaksis
penisilin harus d isertai dengan
vaksinasi. Bahkan, diharapkan dapat mencegah faktor predisposisi, membuat diagnosis
secara tepat, dan memulai khemoterapi dengan benar. Dewasa ini, banyak kematian
yang disebabkan pneumonia oleh pneumococcus terjadi pada orang berusia diatas
50 tahun; orang dengan kekebalan alamiah yang terganggu, misalkan mereka dengan
penyakit sickle cell atau asplenia
dan mereka dengan bakteremia.
ENTEROCOCCUS
Ada sedikitnya 12 spesies enterococcus. Enterococcus
faecalis adalah yang sangat penting dan menyebabkan 85 – 90% infeksi
enterococcal, sedangkan Enterococcus
faecium menyebabkan 5 – 10%. Enterococcus adalah penyebab yang paling
sering dari infeksi nosokomial, khususnya dalam unit perawatan intensif dan
diseleksi dengan terapi chepalosporin dan antibiotika lain dimana mereka
memiliki daya tahan. Enterococcus ditransmisikan dari satu pasien ke pasien
lain melalui tangan pegawai rumah sakit, sebagian diantara mereka membawa
enterococcus pada saluran gastrointestinal. Enterococcus biasanya menyebabkan
meningitis. Tempat-tempat yang paling sering terjadi infeksi adalah saluran
urin, luka, saluran biliary dan darah. Enterococcus dapat menyebabkan
meningitis dan bakteremia pada neonatus. Pada orang dewasa, enterococcus dapat
menyebabkan endokarditis. Walaupun demikian, pada infeksi lain; urin dan luka
intraabdominal, biasanya dikultur bersamaan dengan spesies bakteri lain,
sehingga sulit untuk menjelaskan peran patogenik dari enterococcus
RESISTEN TERHADAP
ANTIBIOTIK
Masalah utama enterococcus
adalah bahwa mereka dapat bersifat resisten (kebal) terhadap antibiotik. E.faecium biasanya lebih tahan terhadap
antibiotik daripada E.faecalis.
A.
Resistensi Intrinsik
Enterococcus secara
intrinsik resisten terhadap cephalosporin, penisilin yang tahan penisilinase
dan monobactam. Mereka mempunyai resistensi intrinsik yang rendah terhadap
beberapa aminoglikosida (streptomisin atau gentamisin), memiliki daya tahan
rendah atau tidak tahan terhadap fluoroquinolone dan kurang peka bila
dibandingkan dengan streptococcus (10 hingga 1000 kali lipat) terhadap
penisilin dan ampisilin. Enterocccus dihambat oleh beta-laktam (misal
ampisilin) tetapi umumnya tidak dibunuh oleh beta-laktam.
B.
Resistensi Terhadap Aminoglikosida
Terapi dengan
kombinasi antibiotik yang bekerja pada dinding sel aktif (penisilin atau
vankomisin) plus aminoglikosid (streptomisin atau gentamisin) penting bagi
infeksi enterococcal berat, misalnya endokarditis. Sekalipun enterococcus
memiliki resisten rendah terhadap aminoglikosida (MICs dengan 4 – 500 gram
µg/mL), mereka memiliki kepekaan sinergistis saat diberikan bersama antibiotik
yang aktif terhadap dinding sel plus aminoglikosida. Sebagian enterococcus
memiliki resistensi yang tinggi terhadap aminoglikosida (MICs >. 500 gram µg/mL) dan tidak peka
terhadap sinergisme. Resistensi aminoglikosida yang tinggi disebabkan oleh
adanya enzim modifikasi aminoglikosida enterococcal (Tabel 15-2). Gen-gen yang
mengkode bagi kebanyakan enzim ini biasanya terdapat pada plasmid/transposon
konjugatif. Enzim-enzim ini memiliki kegiatan diferensial terhadap
aminoglikosida. Ketahanan pada gentamisin digunakan untuk memprediksi
resistensi pada aminoglikosida lain kecuali streptomisin (kepekaan terhadap
gentamisin tidak memprediksi kepekaan terhadap aminoglikosida lain). Resistensi
terhadap streptomisin tidak dapat digunakan untuk memprediksi resistensi pada
aminoglikosida. Hasilnya adalah bahwa hanya streptomisin atau gentamisin (atau
keduanya atau sebaliknya) cenderung
menunjukkan kegiatan sinergis dengan antibiotik yang aktif pada dinding sel
terhadap enterococcus. Enterococcu dari infeksi berat seharusnya memiliki tes
kepekaan dengan resistensi tinggi (MICs <
500 gram mikron/mL) pada gentamisin dan streptomisin untuk memprediksi
keefesienan terapi.
C.
Resistensi Terhadap Vankomisin
Glikopeptida vankomisin
merupakan obat alternatif utama bagi penisilin (plus aminoglikosida) untuk
menangani infeksi-infeksi enterococcus. Di AS, frekuensi enterococcus yang
resisten terhadap vankomisin telah bertambah. Enterococcus ini tidak sinergis
peka terhadap vankomisin plus aminoglikosida. Resistensi vankomisin paling
sering terjadi pada E. faeceum,
tetapi strain dari E.faecalis yang
resisten terhadap vankomisin juga sering terjadi.
TABEL15-2. ENZIM PEMODIFIKASI AMINOGLIKOSIDA ENEROCOCCUS
YANG MEMBATASI SINERGI AMINOGLIKOSIDA PENISILIN
Enzim
|
Aminoglikosida
|
Streptomisin
|
Gentamisin
|
Tobramisin
|
Amikasin
|
6 Adeniltransferase
|
+
|
-
|
-
|
-
|
3’ Fosfotransferase
|
-
|
-
|
-
|
-
|
6’-Asetiltransferase
|
-
|
-
|
+
|
|
4’
Adeniltransferase
|
-
|
-
|
+
|
±
|
2” Fosfotransferase/
6’-Asetiltransferase
|
-
|
+
|
+
|
±
|
Ada fenotipe resisten
vancomisin yang beragam. Fenotipe VanA dimanifestasikan oleh resistensi tinggi
pada vankomisin dan teikoplanin. Fenotipe VanB resisten terhadap vankomisin
tetapi peka terhadap teikoplanin. Strain VanC ada yang agak resisten terhadap
vankomisin. VanC bersifat konstitutif pada spesies yang diisolasi sedikit
secara umum, misalnya Enterococcus
galinarium (VanC-1) dan Enterococcus
casseliflavus/Enterococcus flavescene (VanC-2/VanC-3). Fenotipe VanD
dimanifestasikan resistensi moderat terhadap vankomisin dan resistensi rendah
atau kepekaan rendah. Fenotipe VanE bersifat resisten terhadap vankomisin dan
peka terhadap teikoplanin. Teikoplanin merupakan glikopeptida yang mempunyai
beberapa kemiripan dengan vankomisin. Teikoplanin tersedia bagi pasien di Eropa
tetapi tidak di AS, hal ini penting dalam penelitian resistensi terhadap
vankomisin pada enterococcus. Vankomisin dan teikoplanin mempengaruhi sintesa
dinding sel bakteri gram-positif dengan cara berinteraksi dengan grup
D-alanyl-D-alanine (D-Ala-D-Ala) dari rantai peptapeptida bahan awal
peptidoglikan. Penentu resistensi vankomisin yang dipelajari secara baik adalah
operon VanA. Operon VanA merupakan sistem gen yang terdapat di dalam plasmida
yang dapat ditransfer untuk memuat transposon yang secaraerat berikatan dengan
Tn1546 (Gambar 15-4). Ada dua frame
baca yang terbuka untuk mengkode bagi transposase dan resolvase, tujuh kode gen
bagi resistensi vankomisin dan protein pendahulu. Gen-gen vanR dan vanS
merupakan sistem pengatur 2 komponen yang sensitif terhadap kehadiran vankomisin
atau teikoplanin dalam suatu lingkungan vaH,
vanA, dan vanX yang dibutuhkan bagi resistensi vankomisin. VanH, vanA dan
vanX diperlukan oleh protein untuk menghasilkan pembuatan depsipeptida
(D-Ala-D-laktat) daripada peptida normal (D-Ala-D-Ala). Saat depsipeptida
dihubungkan dengan tripeptida muramil UDP akan membentuk prekursor/pelopor
pentapeptida yang tidak diikat vankomisin dan teikoplanin. VanX mengkode
dipeptidase yang memenuhi lingkungan dipeptida D-Ala-D-Ala normal. VanY dan
VanZ tidak diperlukan bagi resistensi vankomisin. VanY mengkode
karboksipeptidase yang memotong terminal D-Ala dari pentapeptida, mengisi
lingkungan pentapeptida fungsional apapun yang mungkin telah dibuat oleh proses
pembangunan sel normal. VanZ kemungkinan merupakan suatu gen yang mengkode
resistensi terhadap teikoplanin. Seperti vanA, kode vanB dan vanD untuk
D-Ala-D-Lac, kode vanC dan vanD untuk D-Ala-D-Lac sedangkan kode vanC dan vanE
untuk D-Ala-D-Ser.
D.
Produksi β laktamase dan Resistensi terhadap β Laktam
E .laecalis yang menghasilkan β laktamase telah diisolasi dari
spesimen pasien di AS dan di negara lainnya. Disini terdapat variasi geografis.
Isolat-isolat dari AS bagian selatan dan timur laut muncul berasal dari
penyebaran strain tunggal, yang akan disebar pada daerah-daerah geografis
tambahan. Gen yang mengkode Enterococcal β lactamase adalah gen yang sama
seperti yang terdapat dalam Staphylococcus
aureus. Gen dimunculkan secara konstitutif dalam enterococcus dan dapat
dimasukkan kedalam staphylococcus. Karena enterococcus dapat menghasilkan enzim
dalam jumlah kecil sehingga mereka dapat muncul dan menjadi peka terhadap
penisilin dan ampisilin melalui tes kepekaan rutin. Β laktamase dapat dideteksi
dengan menggunakan inokulum tinggi dan tes sepalosporin kromogenik atau dengan
metode lain. Resistensi yang tinggi terhadap gentamisin sering disertai dengan
produksi β laktamase. Pembagian gen-gen menjadi kedua sifat ini terletak pada
plasmid konjugatif dan dapat ditransfer dari satu strain enterococcus ke strain
enterococcus yang lain. Infeksi-infeksi yang berhubungan dengan enterococcus
yang menghasilkan β laktamase dapat ditangani dengan kombinasi penisilin dan β
laktamase inhibitor atau vankomisin (dan streptomisin), ketika kepekaan in
vitro telah didemonstrasikan.
E.
Resistensi Trimethoprim-Sulfamethoxazole (TMP-SMZ)
Interococcus sering
menunjukkan kepekaan terhadap TMP-SMZ melalui pengujian invitro, tetapi
obat-obat tersebut tidak efektif untuk menangani infeksi. Kekurangan ini
disebabkan karena enterococcus dapat menggunakan exogenous folat yang tersedia
secara in vivo dan melakukan inhibisi dengan obat-obat.
COCCUS GRAM POSITIF –
KATALASE NEGATIF LAIN
Ada coccus gram-positif
nonstreptococcus atau coccobacili yang umumnya menyebabkan penyakit (Tabel
15-3). Organisme ini memiliki beberapa pertumbuhan dan sifat morfologis seperti
streptococci viridans. Mereka dapat berupa nonhemolitik atau hemolitik-afa.
Kebanyakan menunjukkan katalase negatif; yang lain menunjukkan katalse positif
lemah.
Pediococcus dan leuconostoc
merupakan jenis yang resisten terhadap vancomisin. Laktobacillus anaerob dapat
berubah menjadi aerotoleran dan hemolitik-alfa yang kadang-kadang mempunyai
bentuk coccobavilus yang serupa dengan streptococci viridans. Kebanyakan lactobasilli (80 – 90%) resisten
terhadap vankomisin. Organisme lain yang umumnya menyebabkan penyakit
seharusnya dibedakan dari streptococcus dan enterococcus yang mencakup
lactococcus, aerococcus dan gemella, jenis yang umumnya peka terhadap
vankomisin. Stomatococcus mucilaginosus
dulunya dipertimbangkan sebagai suatu staphylococcus tetapi bersifat katalase
negatif; koloninya memperlihatkan perlekatan pada agar.
TABEL 15-3. COCCUS GRAM
POSITIF-KATALASE NEGATIF NONSTREPTOCOCCUS DAN COCCOBACIL
Genus
|
Katalase
|
Pewarnaan
Gram
|
Kepekaan
terhadap Vankomsiin
|
Catatan
|
Aerococcus
|
Negatif sampai positif lemah
|
Coccus dalam kluster dan kelompok
berempat
|
Peka
|
Lingkungan organisme yang diisolasi
dari darah, urin atau bagian steril
|
Gemella
|
Negatif
|
Coccus berpasangan, berempat,
kluster dan rantai pendek
|
Peka
|
Pewarnaan
gram negatif dan terlihat tumbuh lambat (48 jam), bagian dari flora normal
manusia diisolasi dari darah dan bagian steril
|
Leuconostoc
|
Negatif
|
Coccus dalam pasangan, rantai,
coccobacili, batang
|
Resisten
|
Lingkungan
organisme, terlihat seperti enterococci pada agar darah, diisolasi dari
infeksi yang beragam
|
Pediococcus
|
Negatif
|
Coccus dalam pasangan, berempat dan
kluster
|
Resisten
|
Ada
pada makanan dan kotoran manusia, diisolasi dari darah dan abses
|
Lactobacillus
|
Negatif
|
Coccobacili, batang beerpasangan dan
rantai
|
Resisten (90%)
|
Aerotoleran
anaerob diklasifikasikan secara umum sebagai bacilli, flora normal vagina dan
kadang ditemukan pada infeksi yang dalam
|
1 Genera yang lain
dengan mengisolasi dari manusia yang jarang atau tidak umum; alloiokokus,
globicatella, helccokokus, laktokokus,
REFERENSI
Bisno AL, Stevens DL: Streptococcus
pygenes (including streptococcal toxid syok syndrom and necrotizing
fasciitis). In :Mandell, Douglas and
Bennett’s Principles and Practice of Infection Disease. 5th ed. Mandell GL,
Bennet JE, Dolan R (editors). Churchill Livingstone, 2000.
Bisno AL. Nonsuppurative poststreptococcal sequelae:
rheumatic fever and glomerulenephiritis. In: Mandell, Douglas and Bennet’s Principles and Practice of Infection
Diseases, 5 th ed. Mandell GL, Bennet JE, Dolan R (editors). Churchill
Livingstone, 2000.
Facklam R, Elliott JA: identification, classification and
slinisal relevance of catalase-negative, gram-positive cocci, excluding the
streptococci and enterococci. Clin Microbial Rev 1995;8:479.
Murray BE: Vancomycin-resistant enterococcal ifections. N
Engl J Med 2000;342:710.
Musher DM: Streptococcus
pneumoniae. In: Mandell, Douglas and
Bennet’s Principles and Practice of Infection Diseases, 5 th ed. Mandell
GL, Bennet JE, Dolan R (editors). Churchill Livingstone, 2000.
Ruoff KL, Whiley RA, Beighton D: Streptococcus, In : Manual
Clinical Microbiology, 7th ed. Murray PR et al (editors).
American Society for Microbiology, 1999.